
Chief Scientist and Founder at Delligence AI, Mohamad Ivan Fanany | Foto: Oktarina Paramita Sandy/Cyberthreat.id
Chief Scientist and Founder at Delligence AI, Mohamad Ivan Fanany | Foto: Oktarina Paramita Sandy/Cyberthreat.id
Cyberthreat.id - Chief Scientist and Founder at Delligence Artificial Intelligence (AI), Mohamad Ivan Fanany, menilai Indonesia tidak mampu berdaulat atas kepemilikan dan kekayaan data masyarakatnya. Menurut dia, sebagian besar data itu dikumpulkan dan dikuasai segelintir korporasi raksasa global yang beroperasi di Tanah Air.
"Google, Amazon, Microsoft, dan raksasa lain-lain, sehingga berdasarkan fakta ini, penguasaan data sifatnya menjadi centralized atau terpusat," kata Ivan kepada Cyberthreat.id, Selasa (11 Februari 2020).
Dalam jangka panjang, kata dia, kondisi sentralisasi penguasaan data sangat merugikan pemilik data. Sentralisasi data membuat pengguna menjadi tidak berdaulat atau tidak bisa berbuat banyak terhadap datanya. Alasannya karena semua data sudah dieksploitasi oleh perusahaan tersebut.
"Semua data sudah terpusat di penyedia layanan besar tersebut, padahal data tersebut digunakan untuk mengeksploitasi pengguna itu sendiri."
Ivan menyarankan, akan lebih baik jika kekayaan data masyarakat Indonesia tidak hanya terpusat ke penyedia-penyedia layanan besar tersebut. Harus ada upaya untuk melakukan desentralisasi (tersebar/penyebaran) data berbasis teknologi blockchain. Dengan cara ini, pengguna akan berdaulat pada datanya.
Blockchain bisa diterapkan seperti database yang menyimpan data-data penguna secara aman dan transparan. Ivan menilai blockchain juga aman karena masing-masing pengguna akan memiliki kunci untuk menyerahkan atau tidak menyerahkan datanya kepada pihak lain.
"Kenapa aman dan transparan? karena blockchain mempunyai buku besar (general ledger) yang menyimpan semua transaksi data, dimana setiap transaksi akan diketahui oleh semua pengguna yang menyimpan datanya di dalam blockchain tersebut," ujar Ivan.
Hal ini juga berlaku pada penerapan teknologi Artificial intellegence (AI) yang sangat bergantung kepada ketersediaan data. Sistem AI membangun model berdasarkan data. Tanpa data, AI tidak akan bisa membuat model.
"Kalaupun bisa (tanpa data memadai), hasilnya tidak akan optimal," tegasnya.
Dengan perlindungan data dalam blockchain, sistem AI bisa mengajukan smart contract yang bisa mengatur transaksi antara pengguna dan sistem AI.
"Kalau tidak menggunakan blockchain kan berarti tidak ada perjanjian (regulasi) antara sistem AI dan penggunanya, dimana sistem AI yang dikembangkan bisa digunakan untuk eksploitasi, seperti yang banyak terjadi sekarang ini."
Blockchain dan Bottleneck
Ivan mengungkapkan, saat ini sistem AI yang paling canggih dimiliki oleh pihak-pihak yang memiliki data paling banyak. Dalam hal ini tentu merujuk kepada korporasi global yang beroperasi di Indonesia.
Dengan adanya Blockchain Based Decentralized AI System, setiap pihak akan memiliki tingkat akses yang sama terhadap data. Sehingga tidak ada lagi satu pihak saja yang mempunyai sistem AI yang lebih hebat hanya karena punya data lebih banyak.
"Jadi kita tidak bersaing dalam banyak-banyakan data, tapi dalam inovasi yang memanfaatkan data."
Lebih lanjut, Ivan menyebut masalah besar soal data di Indonesia adalah terjadinya bottleneck (macet) antara lembaga yang satu dengan lembaga yang lain. Misalnya antara lembaga negara masih berpikir ego sektoral karena masing-masing tidak ingin kehilangan kepemilikan terhadap data yang susah dikumpulkan.
Bottleneck adalah peristiwa macetnya proses aliran data (transmisi data) karena sebab-sebab tertentu. Biasanya disebabkan perbedaan antara kecepatan kerja suatu komponen dengan kecepatan bus-nya atau bisa juga dengan berbagai alasan lain.
"Penerapan desentralisasi data dengan blockchain ini diyakini akan mendorong terjadinya de-bottleneck antar lembaga."
Redaktur: Arif Rahman
Share: