
Glenn Greenwald | Foto: theintercept.com
Glenn Greenwald | Foto: theintercept.com
Cyberthreat.id – Tuntutan hukum pemerintah Brasil atas wartawan dan salah satu pendiri The Intercept, media daring investigasi, Glenn Greenwald ditolak pengadilan setempat, pada Kamis (6 Februari 2020).
Ricardo Augusto Soares Leite, hakim yang memimpin persidangan tersebut menyatakan, bahwa “untuk saat ini yang bersangkutan tidak menghadapi tudingan kejahatan dunia maya atas laporannya tentang korupsi di negara-negara Amerika Selatan.”
Dalam penyataannya, Hakim Ricardo mengatakan, tidak akan melanjutkan kasus Greenwald meski ada keputusan Mahkamah Agung Federasi Brasil sebelumnya.
“Saya menolak, untuk saat ini, untuk menerima pengaduan terhadap Glenn Greenwald, karena kontroversi mengenai perintah yang diberikan oleh Ketua (MA) Gilmar Ferreira Mendes pada Agustus lalu,” tutur dia seperti dikutip Huffpost.com.
Meski begitu, keputusan tersebut bukan berarti Greenwald bebas. Ke depan, Greenwald masih terbuka untuk dituntut.
"Hakim hari ini [Kamis] mengatakan dengan jelas bahwa jika Mahkamah Agung melarang saya untuk diselidiki, itu tentu melarang saya dituntut dan didakwa atas pelaporan yang saya lakukan, dan saya dia sedang menunggu klarifikasi lebih lanjut dari Mahkamah Agung," kata Greenwald.
Berita Terkait:
“Kami tidak hanya menginginkan kemenangan karena alasan prosedural. Kami ingin putusan yang jelas dari Mahkamah Agung bahwa segala upaya untuk mengkriminalkan jurnalistik saya atau hubungan saya dengan sumber-sumber saya adalah serangan besar terhadap kebebasan pers, inti yang dijamin oleh konstitusi Brasil," ia menambahkan.
Greenwald adalah pemenang Hadiah Pulitzer atas laporannya mengenai aksi spionase Badan Keamanan Nasional (NSA) Amerika Serikat yang dibongkar oleh Edward Snowden.
Seperti diketahui, sebelumnya, jaksa penuntut umum Brasil menilai Greenwald melakukan kejahatan dunia maya terkait peretasan ponsel para pejabat senior pemerintahan Brasil pada 2019.
Selain Greenwald, ada enam orang lainnya yang disangkakan turut serta dalam peretasan tersebut.
Dalam sebuah pernyataan resmi, jaksa mengatakan, Greenwald turut serta dan mendorong peretasan terhadap tokoh-tokoh senior pemerintahan melalui layanan pesan Telegram terkait dengan “Operation Car Wash”, sebuah operasi investigasi korupsi yang dijalankan oleh Polisi Federal Brasil.
Operasi investigasi tersebut berhasil menyeret mantan Presiden Brasil, Luis Inácio Lula da Silva yang akhirnya divonis 12 tahun penjara. Investigasi tersebut dipimpin oleh mantan hakim Sergio Moro yang kemudian ditunjuk sebagai menteri kehakiman di era pemerintahan Presiden Jair Bolsonaro, petahana saat ini.
Namun, pesan-pesan internal dalam operasi itu bocor ke publik sehingga menimbulkan keraguan atas independensi Sergio Moro dan memicu prasangka bahwa investigasi terhadap Lula tersebut bias politik.
The Intercept secara eksklusif menampilkan laporan terkait dengan pesan-pesan Telegram yang bocor itu dan mempertanyakan etika dan metode yang digunakan oleh Satuan Tugas Antikorupsi Brasil.
Laporan media itu memicu kontroversi ketika Polisi Federal Brasil pada Desember 2019, mengatakan, bahwa mereka tidak dapat menemukan bukti kesalahan dalam modus operandi wartawan.
Namun, pandangan berbeda datang ketika jaksa berpendapat Greenwald adalah bagian dari "organisasi kriminal" dan "membantu, mendorong, dan membimbing" para peretas yang memperoleh riwayat obrolan Telegram para pejabat senior yang ikut dalam investigasi itu.
Jaksa mengklaim bahwa aktivitas dukungan peretasan Greenwald didasarkan pada analisis komputer yang ditemukan di rumah salah satu peretas. Di sebuah MacBook, menurut pernyataan jaksa, ada bukti rekaman audio percakapan antara Greenwald dan salah satu peretas tentang pesan yang dicegat.
Menurut jaksa, Greenwald mengatakan kepada peretas untuk menghapus pesan curian yang telah diteruskan kepadanya, untuk menutupi jejak dan mengurangi kemungkinan pertanggungjawaban pidana.
Pada Juli 2019, empat peretas ditangkap sehubungan dengan peretasan Telegram. Menurut dokumen pengadilan, kelompok itu menggunakan trik peretasan yang relatif tidak dikenal untuk mengikat akun Telegram korban ke telepon mereka.[]
Share: