
Ilustrasi | Foto: Cyberthreat.id/Faisal Hafis
Ilustrasi | Foto: Cyberthreat.id/Faisal Hafis
Jakarta, Cyberthreat.id – Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ira Aprilianti menyatakan, perlindungan konsumen yang bertransaksi elektronik (e-commerce) di di Indonesia masih lemah.
Padahal, berdasarkan GlobalWebIndex, Indonesia merupakan negara dengan tingkat pengguna e-commerce terbesar di dunia. Indonesia menghasilkan transaksi e-commerce sebesar US$ 20,3 juta pada 2018. Jumlah tersebut mengalami kenaikan sebesar US$ 3,3 juta jika dibandingkan dengan 2017, tutur Ira.
Sementara itu, McKinsey melaporkan, industri e-commerce di Indonesia akan tumbuh sepanjang 2017-2022 dan menghasilkan US$ 20 juta serta mendukung 2-3 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan menyediakan sebanyak 26 juta lapangan pekerjaan.
Letak permasalahan
Menurut Ira, titik persoalan lemahnya perlindungan konsumen karena dua hal, yaitu (1) upaya pemerintah yang masih minim dan (2) kesadaran (awareness) dari masyarakat sendiri.
"Masyarakat sebagai konsumen belum paham urgensi dari perlindungan data pribadi dan hak-hak mereka sebagai konsumen," kata Ira Aprilianti di Jakarta, Selasa (14 Januari 2020) seperti dikutip dari Antaranews.com.
Ia mengatakan, masih ada persoalan yang berpotensi menghambat pertumbuhan perdagangan e-commerce di Indonesia. Yaitu, belum adanya regulasi mengenai perlindungan data pribadi.
Ia berharap Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi segera disahkan karena sangat mendesak sebagai bentuk perlindungan kepada konsumen e-commerce.
Ira berpendapat bahwa penggunaan data pribadi dalam penyedia layanan e-commerce tidak jarang disalahgunakan dan diakses untuk kepentingan di luar transaksi yang penyedia platform lakukan.
Dalam beberapa kasus yang berkaitan dengan perusahaan teknologi finansial (fintech), Ira menjelaskan, data konsumen disebarluaskan dan diperjualbelikan tanpa seizin konsumen.
RUU PDP, menurut dia, idealnya mengatur hak dan kewajiban antara penyedia layanan dengan konsumen untuk memperjelas tujuan penggunaan data pribadi dan data apa saja yang boleh diakses oleh penyedia layanan yang berhubungan dengan transaksi tersebut.
"Sayangnya saat ini pembahasan RUU ini masih tertunda karena harus menunggu selesainya pembahasan Omnibus Law," ujar dia.
Sebenarnya Indonesia saat ini sudah memiliki Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. UU lain yang sudah berlaku adalah UU Nomor 19 Tahun 2016 yang merupakan amandemen dari UU Nomor 11 Tahun 2008.
Menurut dia, PP tersebuti sudah mengatur beberapa hal, di antaranya adalah mengenai larangan untuk membagikan dan menggunakan data konsumen ke pihak ketiga dan aturan mengenai data apa saja yang boleh digunakan oleh penyedia layanan e-commerce.
Namun, kata dia, regulasi tersebut dinilai masih belum ada parameter yang jelas untuk mengukur sejauh mana kinerja para penyedia layanan e-commerce dalam mematuhi regulasi yang berlaku.[]
Share: