IND | ENG
Perang Siber Iran-AS, Indonesia Disarankan Lakukan Ini

Ilustrasi

Perang Siber Iran-AS, Indonesia Disarankan Lakukan Ini
Yuswardi A. Suud Diposting : Jumat, 10 Januari 2020 - 12:30 WIB

Saling serang antara Iran dan Amerika Serikat mulai menyasar wilayah siber. Pakar keamanan siber Pratama Persadha mengingatkan warga Indonesia juga bisa terkena dampaknya, khususnya bagi mereka yang menggunakan VPN (virtual private network) dari negara-negara yang sedang berkonflik beserta sekutunya. 

Dilansir dari kantor berita Antara, Pratama mengatakan agar Indonesia tidak terseret dalam serangan siber, masyarakat perlu menghindari pemakaian VPN (virtual private network) dari negara-negara yang sedang berkonflik beserta sekutunya.

"Pernyataan Trump memperkuat perkiraan, saat ini sedang terjadi cyberwarfare antara kedua negara, yang kemungkinan besar diikuti oleh negara-negara lain maupun kelompok-kelompok tertentu," kata Pratama di Jakarta, Kamis, 9 Januari 2020. 

Dalam sejarah pertikaian Iran, AS dan Israel, Pratama mengatakan, selalu melibatkan saling retas, saling serang sistem -- yang paling terkenal adalah serangan stuxnet dari Israel yang menargetkan sistem nuklir Iran.

Texas dilaporkan telah menerima serangan siber lebih dari 10 ribu kali sejak 6 Januari 2020.

Itu sebabnya,  kata Pratama, masyarakat Indonesia perlu menghindari penggunaan VPN negara-negara yang sedang berkonflik beserta sekutunya.

Peringatan Pratama cukup beralasan. Pada November 2019 lalu, situs top10vopn.com merilis data yang menyebutkan Indonesia menjadi negara tertinggi di kawasan Asia Pasifik yang mengunduh aplikasi jaringan pribadi virtual (virtual private netwrok/VPN) dalam kurun waktu antara Oktober 2018 hingga September 2018. Tercatat, pengguna Indonesia mengunduh 75,5 juta aplikasi atau mengalami peningkatan 111 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.

"Kenapa tidak disarankan menggunakan IP negara berkonflik, hal ini untuk menghindari adanya serangan malware ke IP negara tertentu. Serangan malware massif bisa saja terjadi seperti saat wannacry dan nopetya hadir di pertengahan 2017," kata Pratama.

Dampak yang mungkin akan terasa di Tanah Air, menurut Pratama, lebih kepada perang opini di media sosial.

"Namun mengingat syiah bukan mayoritas muslim di Tanah Air, isu oleh buzzer belum massif sejauh ini. Isu di media sosial banyak bersumber dari media massa mainstream," lanjut dia.

Meski begitu, Pratama meningatkan untuk selalu mengecek dan waspada pada pemakaian teknologi asal AS di instansi pemerintah.

"Ditakutkan serangan kepada raksasa teknologi AS bisa berimbas juga ke para pemakai di tanah air. Dalam hal ini seharusnya BIN dan BSSN sudah mengantisipasi lebih jauh," ujar Pratama.

Serangan kepada Jendral Qassam Solemani, menurut Pratama, bisa terjadi salah satunya karena pengintaian lewat jalur komunikasi, internet dan juga informasi lapangan yang akurat.

"Peristiwa ini juga menjadi pelajaran bahwa dalam situasi seamanan apapun, para pejabat tinggi dan pengawalnya harus melaksankan protap keamanan. Seperti misalnya tidak menyalakan GPS di smartphone dan juga wajib berkomunikasi lewat jalur yang aman," kata Pratama. (sumber: Antaranews)

#vpn   #iran   #siber

Share:




BACA JUGA
Seni Menjaga Identitas Non-Manusia
Indonesia Dorong Terapkan Tata Kelola AI yang Adil dan Inklusif
SiCat: Inovasi Alat Keamanan Siber Open Source untuk Perlindungan Optimal
BSSN Selenggarakan Workshop Tanggap Insiden Siber Sektor Keuangan, Perdagangan dan Pariwisata
Penjahat Siber Persenjatai Alat SSH-Snake Sumber Terbuka untuk Serangan Jaringan