IND | ENG
Sanksi Penyebar Hoaks, SAFEnet Usulkan Adanya Kerja Sosial

Ilustrasi | Foto: freepik.com

Sanksi Penyebar Hoaks, SAFEnet Usulkan Adanya Kerja Sosial
Oktarina Paramitha Sandy Diposting : Kamis, 19 Desember 2019 - 17:10 WIB

Jakarta, Cyberthreat.id – Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Damar Juniarto, menyarankan, pemerintah Indonesia perlu mencontoh Italia dalam melawan peredaran berita palsu atau hoaks.

Menurut Damar, Italia memiliki regulasi yang mengatur denda berupa kerja sosial bagi yang menyebarkan berita palsu atau hoaks di jejaring media sosial.

“Memberi sanksi berupa kerja sosial seperti yang sudah diterapkan di Italia bisa diusulkan sebagai opsi. Karena sampai saat ini, kita belum punya produk tentang hukuman bagi penyebar hoaks, yang ada sedang dicocok-cocokkan (dengan aturan yang ada, red),” ujar Damar saat dihubungi oleh Cyberthreat.Id , Kamis (19 Desember 2019).

Di Italia, regulasi bagi pelanggar hoaks sudah berjalan berjalan kurang lebih selama setahun terakhir. Jika ada seseorang menyebarkan berita palsu dan merugikan salah satu pihak, pihak yang menyebarkan berita palsu tersebut, “akan dihukum berupa kerja sosial kepada masyarakat yang sudah dirugikannya.”

“Misalnya, dia membuat berita mengenai orang-orang migran, dan itu merupakan informasi yang salah dan merugikan kelompok migran tersebut, maka ia wajib memberi makan kelompok migran tersebut,” kata Damar. 

Damar mengatakan, pembentukan undang-undang baru atau mereisi undang–undang yang sudah ada, hal itu brgantung pada pemerintah. Hanya, dia tidak sepakat jika dengan pembuatan regulasi kewenangan pemerintah dalam mengatur dan mengawasi media sosial menjadi berlebihan.

“Jadi, ini kesempatan baik, memang ada contoh dari tempat lain. Namun, kalu itu (sanksi kerja sosial akan) diundangkan menjadi regulasi, jangan sampai menjadi over regulasi seperti yang ada di Jerman,” Damar menambahkan.

Jika sanksi kerja sosial akan diadopsi, menurut Damar, perlu ada klasifikasi dalam regulasinya, sehingga akan ada penyesuaian pada tipikalitas hoaks yang ada di Indonesia. Singkatnya, jika memang ingin ada regulasi, regulasinya harus lebih cermat sehingga tidak ada “pasal karet” dan pendefinisian hoaks pun jadi lebih teliti.

“Kalau tindakannya memang menimbulkan kejahatan kebencian (hate crime), maka bisa pakai mekanisme UU KUHP atau UU diskriminasii, di Indonesia (regulasi itu) sudah ada dan hukumannya lebih jelas,” kata Damar.

“Lalu, kalau lebih ringan dari itu, jadi bukan melakukan tindakan hate crime, tetapi menimbulkan kerugian pada pihak lain yang sifatnya diskriminatif, hukumannya dikasih kerja sosial,” ia menambahkan.

Regulasi di Jerman

Damar mencontohkan, salah satu regulasi tentang hoaks  di Jerman yang dikenal dengan Network Enforcement Acti atau dalam bahasa Jerman disebut Gesetz zur Verbesserung der Rechtsdurchsetzung in sozialen Netzwerken  (NetzDG).

Undang-undang yang disahkan pada 2018 itu sempat menuai banyak protes dari masyarakat Jerman. Ini lantaran regulasi tersebut memuat kewajiban bagi perusahaan media sosial untuk menghapus beragam unggahan yang bernada menyinggung.

Regulasi tersebut secara tegas menyasar platform media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram, Snapchat, Google, dan YouTube dengan tidak menyertakan LinkedIn dan WhatsApp.

Menurut UU NetzDG, kata Damar, platform media sosial diharuskan menghapus unggahan berisi ancaman kekerasan, fitnah, dan konten kebencian dalam waktu maksimal 24 jam setelah keluhan diajukan atau maksimal sepekan jika masalahnya dianggap lebih rumit. Jika tidak platform akan dikenai denda sebesar 50.000.000 euro atau sekitar Rp 780 miliar.

Pemerintah Jerman juga memaksa perusahaan platform media sosial untuk menempatkan struktur keluhan yang komprehensif sehingga unggahan bisa dengan cepat dilaporkan kepada staf.

“Nah ini yang kemudian memunculkan dengan yang disebut over regulated karena orang takut kena denda, maka mereka buru-buru menghapus apa yang menyerempet isu itu,” kata dia.

Oleh karenanya, menurut Damar, dalam penanganan media sosial ada tiga hal yang perlu dicermati, yaitu platform melalui pedemoan komunitas (community guidelines) yang dibuat, , membangun etika bermedia sosial di masyarakat, dan pemerintah melalui pembatasan informasi di platform.

“Ketiga hal tersebut harus dilakukan bersamaan, tetapi dalam praktiknya seringkali di beberapa negara di kawasan Asia, salah satunya Indonesia, negara mengatur media sosial secara berlebihan,” kata dia.

Redaktur: Andi Nugroho

#facebook   #hoax   #hoaks   #singapura   #mediasosial   #botnet   #troll   #internet   #ancamansiber   #instagram   #safenet

Share:




BACA JUGA
Jaga Kondusifitas, Menko Polhukam Imbau Media Cegah Sebar Hoaks
Menteri Budi Arie Apresiasi Kolaborasi Perkuat Transformasi Digital Pemerintahan
BSSN Selenggarakan Workshop Tanggap Insiden Siber Sektor Keuangan, Perdagangan dan Pariwisata
Survei APJII, Pengguna Internet Indonesia 2024 Mencapai 221,5 Juta Jiwa
Butuh Informasi Pemilu? Menteri Budi Arie: Buka pemiludamaipedia!