
Ilustrasi | Foto: freepik.com
Ilustrasi | Foto: freepik.com
Cyberthreat.id – Pemerintah Australia mengalokasikan anggaran sebesar AU$ 9 juta atau sekitar Rp 86,68 miliar untuk kampanye bahwa jaringan 5G aman bagi kesehatan.
Anggaran tersebut akan dipakai dalam sosialisasi selama empat tahun ke depan. Kampanye tersebut dicetuskan setelah ada kekhawatiran di publik Australia bahwa jaringan 5G bahaya bagi tubuh.
Dengan anggaran tersebut, pemerintah akan memakainya dalam penelitian ilmiah tambahan dan lebih banyak edukasi publik.
Menteri Komunikasi Australia Paul Fletcher mengatakan, ada misinformasi yang beredar di tengah-tengah masyarakat tentang 5G.
Menurut Fletcher, seperti dikutip dari Business Insider, Senin (16 Desember 2019), standar keselamatan untuk jaringan dan perangkat seluler di Australia berdasarkan pada riset ilmiah tentang emisi energi elektromagnetik (EME) secara global dan di Australia selama beberapa dekade terakhir.
“Level EME dari jaringan dan perangkat seluler biasanya sama dengan level perangkat rumah tangga seperti microwave dan monitor bayi,” ujar dia.
Fletcher mengatakan, standar keselamatan yang ada di Australia dikembangkan oleh Badan Proteksi Radiasi dan Keselamatan Nuklir Australia (ARPANSA), serta mengacu pada WHO dan Komisi Internasional untuk Perlindungan Radioas Non-Ionisasi (ICNRIP).
“Standar keamanan untuk jaringan 5G juga konsisten dengan aturan yang berlaku untuk generasi awal teknologi seluler,” ia menambahkan.
Ketiga lembaga tersebut mencatat, bahwa teknologi 5G aman, bahkan sampai melakukan riset dan hasilnya, “tidak terbukti adanya klaim bahwa paparan hipersensitivitas elektromagnetik telah menyebabkan mereka merasakan efek samping, seperti sensasi terbakar,” kata Ketua Ilmuwan ARPANSA, Ken Karipidis, seperti dikutip dari ZDNet.
ARPANSA juga secara terus terang menyatakan bahwa frekuensi yang lebih tinggi yang digunakan dalam 5G tidak menghasilkan tingkat paparan yang lebih tinggi.
Dalam penjelasan yang diajukan kepada Parlemen Australia, November lalu, ARPANSA menjelaskan, frekuensi yang digunakan dalam 4G dan 5G memang beberapa energi diserap ke dalam tubuh, tapi terlalu rendah untuk membuat "pemanasan jaringan yang signifikan".
Namun, bila terkena tingkat energi 50 kali lebih tinggi dari standar yang diperbolehkan, pemanasan jaringan dapat terjadi, seperti ketika pengelasan atau terkena menara radio AM.
"Tidak ada bukti kuat bahwa paparan gelombang radio tingkat rendah menyebabkan kanker," kata ARPANSA.
Mengapa orang khawatir tentang 5G?
Menurut The Guardian, orang-orang yang menentang 5G dianggap sebagai "anti-vaxxers" dari industri telekomunikasi.
Bahkan, ada halaman media sosial dan petisi change.org untuk mencegah jaringan 5G karena dampak kesehatannya.
Mercy Wolf, seorang administrator dari kelompok anti 5G yang berbasis di Sydney mengatakan kepada SMH, "Ini adalah gerakan akar rumput dari kebanyakan orang biasa dan terutama para ibu, yang benar-benar khawatir tentang kesehatan dan masa depan anak-anak mereka," kata Wolf.
Wolf juga mengaitkan, menara 5G dengan efek samping potensial seperti depresi dan kerusakan DNA.
Semenara, Direktur Pusat Penelitian Elektromagnetik Bioeffects Australia, Sarah Loughran, menjelaskan bahwa jenis energi elektromagnetik yang digunakan dalam telepon dikenal sebagai frekuensi radio atau gelombang radio. Namun, jenis radiasi itu “non-ionisasi” artinya tidak membahayakan DNA kita seperti halnya radiasi ionisasi.
Loughran menambahkan bahwa 5G pada awalnya akan menggunakan jenis gelombang radio yang sama seperti 4G, tetapi pada akhirnya akan beroperasi pada frekuensi yang lebih tinggi di masa depan. Dan, itu berarti lebih banyak stasiun pangkalan telepon akan dibutuhkan.
"Banyak perhatian publik terpusat di sekitar dua elemen baru ini, yaitu bahwa frekuensi yang digunakan akan lebih tinggi, dan akan ada lebih banyak stasiun pangkalan ponsel," kata Loughran.
"Sementara beberapa orang percaya kedua faktor itu saja akan mengarah pada eksposur yang lebih tinggi, kenyataannya sebenarnya sangat berbeda," ia menambahkan.
Share: