
Ilustrasi | Foto: Freepik.com
Ilustrasi | Foto: Freepik.com
Kyodo, Cyberthreat.id - Kementerian Pertahanan Jepang akan membuat senjata siber dalam bentuk malware yang dipakai sebagai alat pertahanan negara.
Malware yang bisa membobol sistem komputer itu diharapkan bisa berfungsi sebagai alat pencegahan serangan siber, ujar sumber pemerintahan kepada Japan Times, 30 April 2019.
Malware yang dikembangkan oleh perusahaan swasta itu, tulis Japan Times, akan digunakan untuk tujuan pertahanan, bukan untuk serangan lebih dulu (pre-emptive attack). Kebijakan pemerintah terkait dengan malware itu hanya memungkinkan dipakai untuk serangan siber terhadap negara atau organisasi yang dianggap setara dengan Jepang.
"Malware diperkirakan selesai dibuat pada akhir tahun ini," ujar sumber kepada ZDNet. Tidak ada rincian resmi tentang kemampuan malware itu.
Sebetulnya, langkah pembuatan senjata siber ini telah ada sejak 2012. Saat itu pemerintah Jepang meminta bantuan Fujitsu untuk membuat malware pencari dan perusak, sayangnya tak membuahkan hasil.
Sektor Baru
Sejak 2016, NATO secara resmi menyatakan bahwa dunia maya sebagai medan perang resmi, selain dunia udara, darat, dan laut. Pemerintah Jepang menyadari bahwa seiring perkembangan teknologi, sektor terbaru, yaitu dunia maya dan luar angkasa perlu mendapatakan peningkatan pertahanan, selain pertahanan di darat, laut, dan udara.
Dengan langkah terbaru itu, Jepang tampil sebagai negara terbaru yang mengembangkan senjata siber, termasuk Amerika Serikat, Jerman, dan Inggris.
Sebelumnya, Israel, China, Rusia, dan Iran lebih dulu memiliki, mengembangkan, dan secara agresif menggunakan senjata siber meski mereka tak mengakui secara resmi.
Japan Times menyebutkan, bahwa Jepang tertinggal dari negara-negara lain dalam mengatasi ancaman serangan siber (cyberattacks). Oleh karenanya, pemerintah Jepang berencana menambah personel khusus unit ruang maya (cyberspace) dari 150 orang menjadi 220 orang.
Menurut Kemhan Jepang, jumlah itu terbilang sedikit jika dibandingkan dengan Amerika Serikat sebanyal 6.200 orang, Korea Utara 7.000 orang, dan China 130.00 orang.
Kemhan Jepang juga telah mempertimbangkan langkah-langkah spesifik melawan serangan siber. Ini seiring dengan komitmen untuk meningkatkan pertahanan dunia maya di bawah pedoman pertahanan nasional terbaru yang dirilis Desember 2018, tulis Japan Times.
Share: