
Alat verifikasi KTP-el yang diciptakan BPPT dan dipakai dalam pemungutan suara secara e-voting di Kantor BPPT, Jakarta, Jumat (26/4/2019). Cyberthreat.id | Okta Paramitha Sandy
Alat verifikasi KTP-el yang diciptakan BPPT dan dipakai dalam pemungutan suara secara e-voting di Kantor BPPT, Jakarta, Jumat (26/4/2019). Cyberthreat.id | Okta Paramitha Sandy
Jakarta, Cyberthreat.id – Sistem pemilihan umum (pemilu) secara elektronik atau e-voting diwacanakan untuk diterapkan di Indonesia. Sistem ini diyakini selain menghemat anggaran, juga mempermudah penghitungan suara secara cepat dan terjamin.
Di Indonesia, penggunaan sistem e-voting baru dilakukan di tingkat pemilihan kepala desa (pilkades). Sejak 2013 hingga 2018, sebanyak 981 pilkades yang tersebar di 11 provinsi memakai sistem e-voting. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi menyatakan, selama penyelenggaraan itu tak menemui masalah berarti.
BPPT menjamin bahwa alat e-voting buatannya aman. Antisipasi soal manipulasi data pemungutan suara juga telah dilakukan sejak dini.
Dalam demo perangkat yang dilakukan pada Jumat (3/5/2019) di Gedung BPPT Jakarta, Direktur Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi BPPT, Michael Andreas Purwoadi, mengatakan, keamanan perangkat buatan PT Inti itu telah diminimalisasi dengan audit dan sesuai standardisasi internasional tentang teknologi informasi (ISO 10026).
Ia mencontohkan, sebelum menginstal peranti lunak ke dalam perangkat, pihaknya telah mengaudit perangkat untuk disesuaikan dengan standar mutu kepemiluan serta berasaskan luber (langsung, umum, bebas dan rahasia) dan jurdil (jujur dan adil).
Berita Terkait:
Pertanyaan yang sering muncul soal kekhawatiran perangkat e-voting: bagaimana memverifikasi bahwa suara itu merupakan hasil pilihan pemilih, bukan orang lain?
Purwoadi mengatakan, untuk verifkasi data pemilu ada tiga tahap yang dilakukan petugas.
Pertama, sebelum melakukan pemilihan, pemilih akan diverifikasi sesuai dengan daftar pemilih tetap (DPT). Verifikasi tahap ini memakai KTP elektronik dan sidik jari.
Setelah itu, keluarlah data si pemilih. Jadi, KTP palsu atau pemilih ganda tidak bakal terjadi karena BPPT menggunakan data identitas tunggal (single identity).
Bagaimana dengan orang yang tak tercantum dalam DPT atau pemilih tambahan? Petugas akan mengecek KTP-el dan mencocokkan NIK pemilih sebagai verifikasi.
Berita Terkait:
Kedua, ada data rekaman dalam log file di TPS masing-masing. Menurut Purwoadi, setelah pemungutan suara selesai dan hasil formulir C1 tercetak, petugas KPPS langsung memotret dengan kamera tanpa harus mengambil gambar dari galeri, gambar tersebut langsung dikirim ke situs web KPU.
Sebagai tanda formulir itu telah terverifikasi dan dijamin validitasnya, petugas akan mencantumkan tanda tangan digital pada formulir tersebut. “Data yang dikirimkan tersebut bisa di jadikan bukti hukum jika terjadi sengketa dan dapat dibuktikan kebenarannya karena jelas siapa pengirim dan dikirim dari mana,” kata dia.
Ketiga, struk audit. Struk audit keluar setelah pemilih selesai memilih. Struk ini bisa digunakan untuk memverifikasi jumlah suara yang masuk dan bisa dibuktikan kebenarannya karena memiliki kode berupa barcode untuk verifikasi.
Berita Terkait:
“Sehingga struk audit ini tidak bisa dimanipulasi maupun diubah,” kata dia. Struk audit ini akan dimasukkan ke dalam kotak audit dan dijadikan bukti hukum serta alat verifikasi jika terjadi sengketa,” kata dia.
Terkait dengan pelaksanaan pilkades selama ini, Purwoadi mengatakan, selama ini tidak ada kendala dalam perangkat saat proses input data. Hanya, persoalan yang sering menjadi masalah adalah DPT.
Untuk mengatasi hal itu, kata dia, BPPT menciptakan teknologi e-verification agar tidak terjadi lagi permasalahan pada e-voting.
“Kami sudah menciptakan teknologi e-voting ini sesuai dengan ekosistem pemilu. Mulai e-verification sampai dengan sengketa pemilu. Kekhawatiran soal peretasan maupun manipulasi data itu sudah kami eliminasi,” kata dia.
Redaktur: Andi Nugroho
Share: