
Ketua ACCI Alex Budiyanto | Foto: telset.id
Ketua ACCI Alex Budiyanto | Foto: telset.id
Jakarta, Cyberthreat.id – Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI) mengaku kecewa dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
Ini lantaran regulasi pengganti PP Nomor 82 Tahun 2012 itu membolehkan penyelenggara sistem elektronik (PSE) khususnya lingkup privat bebas memilih untuk menempatkan pusat data (data center) baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Ketua Umum ACCI, Alex Budiyanto, mengatakan, regulasi itu justru makin mempersempit pasar dari para cloud provider asal Indonesia. Ini karena potensi pasar lingkup privat yang sebesar 90 persen akan beralih menggunakan cloud provider global.
“Sebelumnya Presiden Jokowi menyampaikan dirinya ingin ada kedaulatan data serta perlindungan data pribadi dan beliau tidak akan berkompromi dengan hal tersebut, beliau juga sempat menyebutkan jangan sampai data kita dikuasai oleh pihak asing,” kata Alex yang dihubungi Cyberthreat.id pada Jumat (1 November 2019)
“Kemudian saat memperkenalkan Menteri Kominfo Johnny G. Plate, [Jokowi] beliau juga menyampaikan jika Johnny adalah menteri yang akan mengurusi kedaulatan data. Tetapi, kemudian implementasinya ini tidak konsisten dengan keluarnya PP 71,” Alex menambahkan.
Yang ia khawatirkan adalah jika terjadi permasalahan hukum, bagaimana proses penegakan hukumnya. Menurut dia, akan sulit menegakkan hukum di ranah siber ketika data itu berada di luar wilayah Indonesia.
“Jangan sampai negara kalah oleh platform,” kata Alex. Berikut wawancara Cyberthreat.id dengan Ketua ACCI Alex Budianto:
Tanggapan ACCI dengan terbitnya PP Nomor 71 Tahun 2019?
Yang pasti kami kecewa karena penerbitan PP 71 tersebut tidak sesuai dengan apa yang kami perjuangkan selama ini. Beberapa hal yang kami sampaikan itu tidak pernah dijadikan concern, khususnya mengenai penempatan data.
Terkait dengan PP 71 itu adalah sesuatu yang menurut kami bertentangan dengan visi-misi dari Presiden Jokowi.
Sebelumnya Presiden Jokowi menyampaikan dirinya ingin ada kedaulatan data serta perlindungan data pribadi dan beliau tidak akan berkompromi dengan hal tersebut, beliau juga sempat menyebutkan jangan sampai data kita dikuasai oleh pihak asing.
Kemudian saat memperkenalkan Menteri Kominfo Johnny G. Plate, beliau juga menyampaikan jika Johnny adalah menteri yangg akan mengurusi kedaulatan data. Tetapi, kemudian implementasinya ini tidak konsisten dengan keluarnya PP 71.
Mengapa PP 71 kontradiktif dengan kedaulatan data?
Presiden Jokowi ingin ada kedaulatan data dan perlindungan data, jangan sampai data dikuasai asing, tetapi kita malah merelokasi data sesuai yang tercantum dalam PP 71.
Dalam PP tersebut dikatakan, bahwa data itu bisa keluar, di mana potensinya sebesar 90 persen data itu bisa keluar dari wilayah Indonesia, dan kompleksitasnya itu tentu besar sekali.
Yang menjadi pertanyaan bagaimana penegakan kedaulatannya? Bagaimana kalau ada masalah hukum? Tentu akan sulit menegakkan hukum dalam ranah siber ketika data itu berada di luar wilayah Indonesia.
Hal-hal seperti inilah yang menjadi tantangan dan itu sesuatu yang sangat kompleks. Jadi, kami sih masih tetap berjuang untuk mengingatkan janji dari Presiden Jokowi bahwa beliau punya visi-misi yang bagus, kami mendukung visi-misi tersebut, tapi jangan sampai visi tersebut diterjemahkan oleh para pembantunya menjadi sesuatu yang sangat bertentangan dengan misi dari presiden.
Apakah penempatan data center di Indonesia akan membantu penegakan hukum?
Sebenarnya gini, fenomena digital ini kan perlu disadari juga, jangan sampai negara kalah oleh platform, itu yang paling penting. Jangan sampai negara karena alasan tertentu tidak bisa berdaulat dan menegakkan hukum karena platform atau layanan over-the-top (OTT) tidak tunduk pada aturan kita.
Menurut kami, biarkan platform untuk berjualan layanannya di sini, tapi wajib patuh pada negara dan berkontribusi. Jangan sampai OTT karena alasan-alasan tertentu tunduk pada aturan di sana [di negara asalnya] yang mungkin tidak sampai dengan aturan di sini.
Contohnya, ujaran kebencian yang di Indonesia diakui sebagai kejahatan, di luar [negeri] justru tidak diakui sebagai kejahatan. Nah ini akan menjadi sebuah benturan dan ini tidak boleh dibiarkan. Kalau dibiarkan, negara akan kalah dengan OTT atau platform dan ini yang harus diperbaiki.
Langkah apa yang akan dilakukan oleh ACCI?
ACCI sedang me-review apakah mungkin untuk kita melakukan judicial review dan melihat potensi pasal-pasal mana yang kira-kira bisa menjadi celah untuk menang di judicial review. Kami masih mencari belum ada keputusan iya atau enggak, masih menginventarisasi dahulu.
Karena di judicial review itu kita harus mencari pertentangan antara PP 71 dengan aturan lain yang lebih tinggi dibandingkan aturan tersebut, misalnya undang-undang.
Pada judicial review, Mahkamah Agung itu kan tidak peduli efeknya apa, selama itu tidak bertentangan dengan aturan yg lain. Jadi, jangan sampai kami judicial review menjadi sesuatu yang hanya buang-buang energi saja.
Bagaimana efek pada industri komputasi awan (cloud computing)?
Menurut kami, ekonomi digital itu kan tidak hanya cloud computing. Cloud computing dibandingkan dengan digital ekonomi Indonesia itu mungkin kecil. Karena ekonomi digital di Indonesia itu kan terbesar potensinya se-Asia Tenggara. Dan, penduduk kita besar, maka seharusnya potensinya juga besar.
Jangan sampai begini, kita memperbolehkan data-data diproses di luar Indonesia, pada akhirnya semua PSE atau OTTyang berasal dari luar wilayah Indonesia, itu tidak mau berinvestasi di indonesia.
Karena kan kalau mereka sudah cukup melayani masyarakat Indonesia dari luar wilayah Indonesia, dan itu sudah di perbolehkan lewat PP 71, kenapa mereka harus masuk dan berinvestasi di Indonesia?
Pada akhirnya, ya mereka tidak melakukan investasi di sini karena memang tidak diwajibkan, dan mereka cukup melayani pengguna Indonesia dari luar wilayah Indonesia. Yang pada akhirnya potensi investasi ke Indonesia itu akan jauh berkurang secara drastis.
Yang akan terjadi adalah OTT akan membanjiri produknya saja di Indonesia, mereka sendiri cukup menarik uang masyarakat Indonesia dari luar wilayah Indonesia. Dan, yang paling disayangkan OTT asing ini tidak punya kontribusi apa pun untuk bangsa Indonesia. Jadi mereka jualan, mereka juga tidak bayar pajak, mereka mengeksploitasi potensi ekonomi digital kita dan membuang itu keluar wilayah Indonesia.
Kaitannya dengan ekonomi digital...
Kalau semua itu diwajibkan dalam proses data di Indonesia, harapannya adalah uang itu akan berputar di wilayah Indonesia, dan membuat ekonomi kita naik. Tapi, kalau itu tidak dilakukan, yang terjadi adalah kekayaan kita akan disedot keluar, tanpa mereka berkontribusi, dan itu sangat disayangkan.
Belum lagi kita sudah membangun infrastruktur bagus, seperti Palapa Ring, tetapi justru yang menikmati adalah OTT asing.
Kominfo seharusnya paham bahwa potensi ekonomi digital kita harus sebesar mungkin impact-nya itu dirasakan oleh masyarakat Indonesia itu sendiri. Jangan sampai kebijakan yang dibuat malah kita memperkaya asing, dan membuat asing menguasai aset data di negara kita dan tanpa mereka ikut berkontribusi dalam pembangunan negara.
Apa yang harus diperbaiki dari ekosistem industri cloud computing di Indonesia?
Pada akhirnya ketika PP 71 sudah disahkan, yang mendukung ekosistem cloud computing di Indonesia tidak ada. Yang ada malah provider asal Indonesia langsung bersaing dengan provider global, di mana mereka sudah boleh melayani 90 persen potensi market cloud computing di Indonesia langsung.
90 persen market itu akan tergerus dan dikuasai oleh cloud computing global. Karena ketika tidak ada kewajiban untuk menggunakan provider Indonesia, konsumen bisa memilih yang lebih murah dan bagus. Pada akhirnya, provider global yang dananya lebih besar dan dananya masif untuk melakukan kampanye, mereka ini yang akan berkuasa di industri cloud computing.
Pemain cloud kita ini kan tidak ada yangg sebesar mereka, budget kita untuk marketing juga terbatas tidak sebesar mereka. Jadi, ini sangat disayangkan sekali, seolah-olah kita disuruh perang dengan para raksasa tanpa kita diberikan apa pun oleh negara.
Dalam ekosistemnya yang perlu diperbaiki, kalau katakanlah dengan pemain global, kami harapkan levelnya itu sama. Tapi, kalau levelnya sudah berbeda, itu kan sesuatu hal yang sangat disayangkan.
Sebagai contoh ketika berjualan cloud computing di Indonesia, pajak yang dibebankan ke kami itu kan macem-macem, tapi provider global tidak perlu mengeluarkan pajak tersebut. Kami punya harga sama, misalkan, dijual ke lokal minimal 110 karena sudah ada tambahan biaya pajak, sedangkan dari pemain global tetap 100 karena mereka tidak perlu keluarkan pajak. Akhirnya para konsumen akan memilih menggunakan layanan dari provider global yang jelas-jelas lebih murah.
Tugasnya kominfo dan pemerintah itu harusnya hadir, bagaimana masyarakat Indonesia ketika harus bersaing dnegan mereka ya minimal levelnya itu dibikin sama atau kalau mau lebih baik, anak sendiri harusnya diberi sesuatu hal yang bisa membantu mereka untuk memenangkan persaingan. Dan persaingan itu itu tidak hanya terjadi di bisnis cloud computing tapi hampir di semua bisnis digital.
Redaktur: Andi Nugroho
Share: