IND | ENG
Audio DeepFake, Ancaman Baru Pelanggaran Data

Ilustrasi

Audio DeepFake, Ancaman Baru Pelanggaran Data
Arif Rahman Diposting : Selasa, 22 Oktober 2019 - 15:43 WIB

Cyberthreat.id - Teknologi Deepfake yang menggunakan kombinasi Artificial Intelligence (AI) hingga deep learning untuk membuat konten video atau audio palsu telah menjadi ancaman nyata bagi sektor finansial dan bisnis lainnya.

Ancamannya begitu menyeramkan karena yang ditipu adalah alat Indra manusia yang berpikir bahwa konten Deepfake benar-benar asli. Memang tidak sepenuhnya DeepFake berbahaya, tapi perusahaan cybersecurity dunia telah memahami potensi ancaman ini disertai bukti-bukti kongkrit.

Amerika Serikat (AS) sudah menganggap Deepfake sebagai ancaman di Pemilu 2020. Beberapa negara bagian telah menerbitkan regulasi yang bertujuan mengantisipasi efek negatif dan efek merusak Deepfake.

Perusahaan teknologi tampak belum siap mengantisipasi dan mengembangkan penawar atau anti-deepfake. Raksasa digital Facebook, Google, Microsoft dan Twitter telah berinvestasi puluhan juta USD mengembangkan teknologi untuk mendeteksi Deepfake.

Minimal, teknologi ini harus bisa mendeteksi dulu, setelah itu baru dikembangkan teknologi yang bisa mengambil tindakan terhadap Deepfake. Sementara teknologi ini terus berkembang pesat sejak marak di akhir tahun 2017.

Kini, ancaman Deepfake diprediksi memasuki level baru yakni pencurian dan pelanggaran data (data breach). Yang digunakan adalah konten Audio DeepFake (voice) yang bertujuan menipu semua kalangan masyarakat mulai dari orang bisa sampai kalangan CEO.

Pencurian Data

Bayangkan jika anda ditelepon seorang publik figur. Di AS, misalnya suara mantan Presiden Barrack Obama atau selebriti seperti Ellen DeGeneres, tiba-tiba menelepon anda lalu berbincang lama di telepon.

Padahal audio yang didengar palsu, tapi suaranya persis aslinya sambil menanyakan informasi pribadi tentang anda.

Beberapa bulan lalu di Inggris, seorang karyawan tertipu oleh Audio DeepFake. Si karyawan benar-benar percaya bahwa yang menelepon adalah sang CEO yang memintanya untuk mengirim sejumlah uang ke nomor rekening tertentu.

Dari kasus ini, ancaman bisa berkembang ka arah serangan cyber yang masif seperti pencurian data atau password.

"Dulu, jika anda ingin menyerang AS perlu 10 kapal induk, rudal jarak jauh, senjata nuklir dan pasukan. Kini, anda hanya perlu beberapa audio palsu seorang presiden memerintahkan perang," kata senator AS Marco Rubio dilansir Help Net Security, Senin (21 Oktober 2019).

Audio Deepfake adalah suara palsu atau disebut juga dengan suara sintetis. Penjahat dan kelompok kriminal hacker terus mengembangkan taktik dan mengidentifikasi saluran tambahan untuk ditargetkan.

"Saya memprediksi suara (voice) akan menjadi modus pelanggaran/pencurian data selanjutnya," kata CEO Pindrop, Vijay Balasubramanian.

Pindrop adalah sebuah perusahaan keamanan informasi AS yang sedang fokus mengembangkan teknologi identifikasi suara di telepon. Hingga kini Pindrop setidaknya telah menganalisis 147 suara dari panggilan telepon yang telah dipraktekkan ketika menelepon seseorang.

Perusahaan/organisasi, kata Vijay, perlu membangun pertahanan terhadap teknologi sebelum persoalan Audio DeepFake menjadi terlalu berat untuk ditangani. Dalam lima tahun terakhir Pindrop telah menemukan terjadinya peningkatan besar-besaran dalam serangan audio sintetis di AS.

"Kami mengembangkan audio deepfake sendiri menggunakan suara-suara para pemimpin dan selebriti dunia populer yang secara teratur di media. Kami menemukan bahwa audio sintetis terdengar normal di telinga manusia," kata Vijay.

#Deepfake   #ai   #deeplearning   #cyberthreat   #cybersecurity   #Pindrop   #r&d   #audiodeepfake   #videodeepfake   #panggilantelepon   #WhatsAppcall

Share:




BACA JUGA
Demokratisasi AI dan Privasi
Indonesia Dorong Terapkan Tata Kelola AI yang Adil dan Inklusif
Microsoft Merilis PyRIT - Alat Red Teaming untuk AI Generatif
Politeknik Siber dan Sandi Negara Gandeng KOICA Selenggarakan Program Cyber Security Vocational Center
Utusan Setjen PBB: Indonesia Berpotensi jadi Episentrum Pengembangan AI Kawasan ASEAN