IND | ENG
Soal Karhutla, Citra Satelit NASA Tak Bisa Dibohongi

Ilustrasi kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan | Foto: NASA

Soal Karhutla, Citra Satelit NASA Tak Bisa Dibohongi
Arif Rahman Diposting : Sabtu, 21 September 2019 - 14:52 WIB

Cyberthreat.id - Pekan lalu citra satelit milik NASA menampilkan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang terjadi di Kalimantan dan sejumlah wilayah Indonesia dari luar angkasa.

Citra satelit NASA menampilkan gambar yang diambil dengan menggunakan Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) dari satelit AQUA milik NASA pada Sabtu (14 September 2019).

"Perlu diingat bahwa banyak dari kebakaran ini membakar di bawah tanah atau di daerah dengan asap tebal sehingga satelit tidak dapat mendeteksi api," kata ilmuwan NASA Goddard Institute for Space Studies, Robert Field, dilansir situ NASA, Selasa (17 September 2019).

Informasi di situs NASA dengan laporan bertajuk "Smoke Blankets Borneo"
memperlihatkan gambar yang menunjukkan asap pekat melayang di atas pulau merujuk pada kualitas udara yang sudah sangat berbahaya dan membahayakan kesehatan makhluk hidup di wilayah tersebut.

Satelit NASA menyatakan telah mendeteksi bukti kebakaran di wilayah Kalimantan dan Sumatera sepanjang Agustus, tapi jumlah dan intensitasnya melonjak pada minggu pertama September.

Kebakaran biasanya terjadi di Kalimantan pada September dan Oktober karena para petani membakar puing-puing pertanian dan penebangan untuk membersihkan jalan bagi tanaman dan ternak.

Di Kalimantan, tujuannya adalah untuk mempersiapkan lahan untuk penanaman kelapa sawit dan pulp akasia. Operasional Land Imager (OLI) di Landsat 8 memperoleh gambar yang menunjukkan kebakaran yang membakar di beberapa daerah kelapa sawit di Kalimantan selatan.

Data karbon organik pada 17 September 2019, dari model GEOS- Forward Processing (GEOS-FP), yang mengasimilasi informasi dari satelit, pesawat, dan sistem pengamatan berbasis darat mensimulasikan karbon organik.

Pemodel memanfaatkan pengamatan satelit terhadap aerosol dan kebakaran. GEOS-FP juga mencerna data meteorologi seperti suhu udara, kelembaban, dan angin untuk memproyeksikan perilaku bulu-bulu.

Dalam hal ini, asap tetap relatif dekat dengan sumber api karena angin pada umumnya lembut. GEOS FP, seperti model cuaca dan iklim lainnya, menggunakan persamaan matematika yang mewakili proses fisik untuk menghitung apa yang terjadi di atmosfer.

Model ini menghitung posisi dan konsentrasi bulu karbon organik setiap lima menit. Model ini mencerna data aerosol baru pada interval tiga jam, data meteorologi baru pada interval enam jam, dan data kebakaran baru setiap hari.

Peta gambut yang tersedia melalui Pusat Atlas Penelitian Kehutanan Internasional Kalimantan menunjukkan bahwa banyak kebakaran terjadi di dalam atau di dekat daerah dengan lahan gambut.

"Kebakaran gambut cenderung sulit dipadamkan, seringkali membara di bawah permukaan selama berbulan-bulan sampai musim hujan tiba," ujar Field.

#SatelitNASA   #karhutla   #modis   #Aqua   #geos-fp   #internet   #bigdata   #googlemap

Share:




BACA JUGA
Survei APJII, Pengguna Internet Indonesia 2024 Mencapai 221,5 Juta Jiwa
Tingkatkan Kecepatan Internet, Menkominfo Dorong Ekosistem Hadirkan Solusi Konkret
Tingkatkan Kualitas Layanan Telekomunikasi, Kominfo Siapkan Insentif dalam Lelang Low Band
Layanan BTS 4G Daerah 3T Fasilitasi PBM dan Kegiatan Masyarakat 
Menkominfo: BTS 4G Dukung Pengamanan Pos Lintas Batas Negeri