
Google. | Foto: 9to5google.com
Google. | Foto: 9to5google.com
Cyberthreat.id – Lebih dari 30 jaksa agung negara bagian Amerika Serikat sedang menyiapkan investigasi ke Google Alphabet Inc. Mereka akan menyelidiki dugaan pelanggaran terhadap undang-undang antimonopoli yang dilakukan Google, demikian laporan Reuters mengutip sumber anonimnya, Selasa (3 September 2019).
Mereka berencana untuk mengumumkan penyelidikan terhadap Google pada 9 September mendatang. Google mengatakan, perusahaan akan bekerja sama dengan pejabat negara.
"Kami terus bekerja secara konstruktif dengan regulator, termasuk jaksa agung, dalam menjawab pertanyaan tentang bisnis kami dan sektor teknologi yang dinamis," kata perwakilan Google Jose Castaneda.
Pada Juni lalu, Ken Paxton, Jaksa Agung Texas yang akan memimpin dalam penyelidikan, mendesak Komisi Perdagangan Federal (FTC) untuk fokus pada pelanggaran privasi dan pengumpulan data dalam menyelidiki potensi pelanggaran undang-undang antimonopoli.
Mereka berpendapat bahwa perusahaan teknologi besar memiliki begitu banyak data pengguna sehingga sulit bagi pendatang baru untuk bersaing.
Raksasa teknologi, di antara perusahaan terkaya dan paling kuat di dunia, sejak lama mendapat kritikan terkait isu monopoli. Selain dari Jaksa Agung negara bagian, lembaga yang menyoroti perilaku perusahaan-perusahaan yaitu Kongres AS dan agen-agen federal.
Pada Juli lalu, Departemen Kehakiman membuka penyelidikan luas perusahaan teknologi digital utama, dengan fokus pada apakah mereka terlibat dalam praktik antipersaingan atau tidak. Penyelidikan diduga menyasar Google, Amazon.com Inc dan Facebook Inc, dan berpotensi Apple Inc.
Secara terpisah, Komisi Perdagangan Federal, yang juga menegakkan undang-undang antimonopoli, juga memeriksa Amazon dan Facebook untuk menentukan apakah mereka menyalahgunakan kekuatan pasar besar-besaran mereka di media ritel dan media sosial.
The Washington Post adalah menjadi media yang pertama melaporkan perkembangan penyelidikan tersebut, Selasa kemarin.
Share: