
Sesi foto bersama di FGD Manajemen Krisis Siber Nasional
Sesi foto bersama di FGD Manajemen Krisis Siber Nasional
Jakarta, Cyberthreat.id - Pakar IT dan Cybersecurity, Gildas Deograt, menilai Indonesia berada dalam kondisi sangat rentan (vulnerable) dari sisi keamanan dan ketahanan siber. Masyarakat, kata dia, harus melihat ruang siber nasional secara menyeluruh sehingga dibutuhkan regulasi untuk mengaturnya.
"Kalau anda tanya ke saya bagaimana kondisi siber Indonesia dari segi ketahanan dan keamanan, saya akan jawab Indonesia sedang dalam kondisi telanjang dari cyberthreat. Kita itu naked dan sangat terbuka. Artinya sangat vulnerable," kata Gildas saat menjadi pemateri di Manajemen Krisis Siber Nasional di Jakarta, Senin (26 Agustus 2019).
Kondisi real-time saat ini adalah Indonesia sangat membutuhkan UU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS). Di sisi lain, kata dia, konten yang ditawarkan RUU KKS memang masih perlu diperbaiki namun jika RUU tersebut di carry over ke DPR periode berikutnya, maka pembahasannya akan dimulai dari nol.
Gildas mencontohkan nasib UU Rahasia Negara yang tak kunjung disahkan. Dulunya, kata dia, RUU Rahasia Negara pembahasannya bareng dengan UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP). UU Rahasia Negara diketahui sarat dengan pengaturan kepentingan asing sementara UU KIP lebih dulu disahkan dengan alasan urgensi.
"Nyatanya sampai sekarang kita tidak punya UU Rahasia Negara yang di dalamnya banyak kepentingan internasional. Jangan sampai ini terjadi ke UU Siber. Menurut saya, di UU Rahasia Negara kita dibodohi," ujarnya.
Prof Marsudi W Kisworo mengatakan Indonesia sudah semakin digital dari seluruh segi kehidupan. Pemerintah telah menerapkan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dengan menggunakan sistem online (elektronik).
Kemudian konsep Satu Data yang merupakan inisatif pemerintah untuk membenahi permasalahan dalam penyelenggaraan dan pengelolaan data pemerintah secara nasional.
Dari sisi pembangunan Pemerintah juga menggalakkan Smart City yang akan dibangun di ratusan daerah dalam beberapa tahun ke depan. Smart City berbasis teknologi siber dan data.
"Semua itu selalu bicara sistem dan layanan saja. Tidak ada yang berbicara soal security misalnya seperti keamanan di sistem elektronik bagaimana. Smart City itu keamanan cyber-nya bagaimana. Itu enggak ada saya temukan," ujarnya.
Kepala BSSN Letjen (Purn) Hinsa Siburian mengatakan masyarakat perlu mengetahui dan menyadari bahwa manajemen krisis di ruang siber berbeda dengan dunia nyata. Ada kemiripan bahwa diperlukan komando dan pengendalian di dalam krisis sehingga harus ada leading sector.
"Krisis siber tidak sama dengan krisis bencana alam atau perang fisik. Itu sebabnya kita perlu berkoordinasi dan berkolaborasi karena stakeholder lain kan juga banyak," ujarnya.
Share: