
Kepala Unit IV Subdit III Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, AKBP Endo Priambodo saat menjelaskan kasus kejahatan siber di diskusi yang diadakan oleh Tordillas di Jakarta, Jumat (12/4/2019). CYBERTHREAT.ID | ANDI NUGROHO
Kepala Unit IV Subdit III Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, AKBP Endo Priambodo saat menjelaskan kasus kejahatan siber di diskusi yang diadakan oleh Tordillas di Jakarta, Jumat (12/4/2019). CYBERTHREAT.ID | ANDI NUGROHO
Jakarta, Cyberthreat.id – Kepolisian Republik Indonesia mengakui masih kewalahan dalam menangani kasus kejahatan siber karena kekurangan jumlah sumber daya manusia.
Data Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menyebutkan, jumlah laporan kasus kejahatan siber selama 2018 di seluruh Indonesia mencapai 4.000-an kasus.
Dari jumlah tersebut, sekitar 2.000-an kasus berada di Polda Metro Jaya, lalu 1.900-an di Bareskrim Polri, dan sisanya di polda-polda lain.
“Kasus yang ditangani di polda-polda itu kecil sekali antara 3-5 kasus. Paling banyak di Polda Metro Jaya karena orang lebih gampang melapor ke sana,” ujar Kepala Unit IV Subdit III Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, AKBP Endo Priambodo kepada Cyberthreat.id di Jakarta, Jumat (12/4/2019).
Endo mengatakan, jumlah personel di Direktorat Tipidsiber Bareskrim Polri sekitar 150-an orang, sedangkan di Polda Metro Jaya sekitar 100 orang. Jumlah lebih kecil berada di tingkat subdirektorat siber yang berada di polda-polda lainnya, yaitu antara 15-25 orang, sedangkan di tingkat polres hanya 3-5 orang.
Endo mengatakan, dari 34 polda yang ada di Indonesia, baru enam polda yang memiliki subdirektorat siber, antara lain Polda Metro Jaya, Polda Bali, Polda Jawa Timur, Polda Jawa Tengah, Polda Jawa Barat, dan Polda Sumatera Utara.
“Sumber daya manusia kami sangat terbatas. Seharusnya memang kami melakukan patroli siber, tapi karena kurangnya kemampuan personel, jadi kami belum sampai ke sana (patroli),” tutur Endo. Menurut Endo, patroli siber tetap dilakukan hanya intentsitasnya berbeda-beda sesuai dengan jumlah personel.
Pendidikan Khusus
Tak hanya soal jumlah SDM, kata Endo, latar belakang pendidikan yang dimiliki personel juga tidak menguasai secara khusus di bidang siber.
Endo menyadari perlunya penguasaan ilmu khusus untuk menangani dunia siber. Tanpa pendidikan formal dan minat yang kuat, kata dia, hal itu cukup menghambat penanganan kasus. “Di situlah yang kadang-kadang kami ketinggalan dari teknologi itu sendiri,” kata dia.
Sebetulnya, kata Endo, pelaporan kasus siber bisa dilakukan di polda mana pun. “Tapi, nanti (kasusnya) dilihat lagi kompetensi dan bobotnya. Misal, ada orang melapor di Polda Metro, setelah dilihat bobot dan kompetensi ternyata bisa diurus di tingkah bawahnya,” ujar Endo.
Selama ini, kasus-kasus yang ditangani polisi lebih banyak berurusan dengan penipuan online dan pencemaran nama baik. Ada juga kasus lain hanya jumlahnya relatif sedikit, seperti hacking, cyberpornography, judi online.
Endo menuturkan, sebetulnya kepolisian ingin juga mengungkap kejahatan siber seperti penyebaran malware dan kasus siber serius lainnya.
“Misalnya, kami patroli sampai di deepweb/darkweb yang berarti kejahatan underground. Tapi, kami tentu harus belajar lebih banyak hal agar bisa mengungkapnya. Apalagi untuk mengungkapkannya harus memiliki alat bukti. (Kenyataanya) karena alat buktinya kurang, kami tidak bisa menangkap pelakunya,” ujar Endo.
Kendala lain yang sering dihadapi dalam penyelidikan kejahatan siber, kata Endo, kurangnya koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait. Misalnya, penyedia penyelenggara internet (Internet service provider/ISP) punya data di server-nya. Ternyata data itu tidak bisa disimpan terlalu lama di server, bisa saja dalam sebulan data sudah terhapus karena kapasitas server yang terbatas.
Dengan kondisi seperti itu, “Sangat sulit untuk mencari data-data siber ini. Intinya polisi harus bergerak cepat kalau mau cepat dapat data,“ kata dia.
Dari tahun ke tahun kasus kejahatan siber yang ditangani Kepolisian Republik Indonesia mengalami peningkatan. Kasus yang paling banyak ditangani menyangkut penipuan online dan pencemaran nama baik.
Perinciannya, sebanyak 781 kasus ditangani pada 2012. Jumlah itu naik drastis pada sebanyak 1.347 kasus pada 2013. Selanjutnya, 1.332 kasus pada 2014, 2.348 kasus (2015), 2.775 kasus (2016), 2.895 kasus (2017), 4.487 kasus (2018), dan hingga Maret 2019 sebanyak 935 kasus.
Share: