IND | ENG
Dinilai State Centric, RUU Kamtansiber Sangat Dibutuhkan

Deputi Direktur Riset ELSAM Wahyudi Djafar saat memberikan paparan dalam diskusi "Arah Kebijakan Keamanan Siber Indonesia" di Jakarta, Rabu (7 Agustus 2019) | Foto: Faisal Hafis

Dinilai State Centric, RUU Kamtansiber Sangat Dibutuhkan
Arif Rahman Diposting : Rabu, 07 Agustus 2019 - 14:05 WIB

Jakarta, Cyberthreat.id - Ketua dan Pendiri Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja menilai Rancangan UU Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU Kamtansiber) terlalu state centric (orientasi kekuasaan dari negara).

Ia mengatakan dalam perumusan RUU tersebut tidak melibatkan multi stakeholder seperti akademisi, Pemerintah, civil society, organisasi internasional, komunitas teknis dan private sector.

"RUU ini kan dibahas multi stakeholder tapi kami kok enggak tahu. Banyak hal yang tidak diketahui. Padahal marwahnya BSSN berasal dari multi stakeholder itu," kata Ardi Sutedja dalam diskusi di Jakarta, Rabu (7 Agustus 2019).

Di sisi lain Ardi mengakui undang-undang yang mengatur ruang siber sudah sangat diperlukan. Potensi ancaman siber terus meningkat di tengah era perang teknologi modern yang akan terjadi di ruang siber, tapi pasti berdampak luar biasa ke dunia nyata.

Ia mencontohkan bagaimana persoalan ekonomi digital di masa yang akan datang adalah urusan keamanan nasional yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

"Sekarang itu perang selesai jika berhasil melumpuhkan sentra ekonomi. Caranya bagaimana? Kita lihat kemarin Bank Mandiri eror atau listrik mati. Sistemnya itu diserang," kata dia.

Ardi mengatakan RUU ini masih terbuka peluang untuk dikoreksi bersama-sama. Menurut dia, pelibatan multistakeholder bukan masalah sepele.

Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar, memaparkan sejumlah persoalan di RUU Kamtansiber yang menurut dia masih mengganjal. Elsam, kata dia, menggunakan pendekatan hak asasi manusia (HAM).

"Tujuannya untuk melindungi keamanan individu, tapi saat ini justru menegaskan pendekatan yang state centric," kata Wahyudi di Jakarta, Rabu (7 Agustus 2019).

Dalam perumusan RUU ini ELSAM justru melihat muncul sejumlah materi yang lebih menekankan aspek pembatasan. Akibatnya terjadi ambiugitas dan tata kelola atau kerangka kerja yang berpotensi overlapping/tumpang tindih kewenangan.

"Bahkan rumusan sengketa kewenangan RUU ini justru menggambarkan pendekatan seperti itu," ujarnya.

Direktur Proteksi Pemerintahan BSSN Ronald Tumpal mengatakan kepentingan bangsa Indonesia di ruang siber yang paling diutamakan di dalam RUU tersebut. BSSN, kata dia, meminta masukan secara proaktif dari berbagai pihak sementara RUU tersebut merupakan usulan DPR.

"Masukan dan informasi itu dibutuhkan secara proaktif agar kepentingan dan interest rakyat Indonesia terwakili di dalamnya. Kami sudah serahkan semua ke DPR dan itu prosesnya di sana," ujar dia.

Peneliti CSIS Fitriani menilai Indonesia sudah seharusnya memiliki RUU Kamtansiber karena terdapat banyak hal yang belum diatur terkait keamanan siber ke depan. Dalam paparannya Fitriani menyertakan contoh kasus dan bagaimana potensi serangan siber menjadi isu global yang harus ditanggapi.

"Kalau menurut saya memang Indonesia sudah sangat butuh. Critical infrastructure, layanan publik dan sebagainya. Dan, Presiden Jokowi juga sudah mau e-government kan, sehingga undang-undang diperlukan karena kalau tidak ada dasar hukum sulit bertindak," ujarnya.

#Ruukamtansiber   #ruukks   #bssn   #ELSAM   #icsf

Share:




BACA JUGA
BSSN-Huawei Techday 2024
Keamanan Siber Membutuhkan People, Process, dan Technology.
BSSN dan Bank Riau Kepri Syariah Teken Kerja Sama Perlindungan ITE
BSSN Selenggarakan Workshop Tanggap Insiden Siber Sektor Keuangan, Perdagangan dan Pariwisata
Politeknik Siber dan Sandi Negara Gandeng KOICA Selenggarakan Program Cyber Security Vocational Center
Perkuat Keamanan Siber Sektor Industri, BSSN dan PT INKA Launching CSIRT