
Jakarta, Cyberthreat.id - Pakar siber, Tedi Supardi Muslih, menilai Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU Kamtansiber) berfungsi menjamin keamanan Warga Negara Indonesia di ruang siber.
"Tanpa faktor keamanan yang memadai bagaimana (industri) bisa tumbuh dan keamanan publik bisa terjaga," kata Tedi kepada wartawan di Jakarta, Jumat (2 Agustus 2019).
Sebenarnya, kata dia, tidak hanya ketahanan dan keamanan siber saja yang menjadi fokus RUU tersebut, tapi juga kesejahteraan dan kemakmuran Bangsa Indonesia sesuai amanat UUD 1945 yakni memajukan kesejahteraan umum.
Ruang siber tidak hanya perlu diamankan, tapi juga memerlukan (sebuah kondisi) ketahanan/imun dan ketangguhan menghadapi serangan (cyber attacks) dari pihak musuh.
Sedangkan kesejahteraan dan kemakmuran hanya bisa dicapai melalui keamanan saat menjalani kehidupan seperti bertransaksi lewat e-commerce, Fintech atau menikmati layanan publik di era digitalisasi dan otomatisasi.
"Pertumbuhan industri e-commerce, startup dan fintech yang demikian pesat memerlukan faktor keamanan yang tinggi. Belum lagi meningkatnya serangan siber kepada institusi pemerintah menyebabkan beleid tersebut penting dirampungkan," ujarnya.
Tedi menilai RUU Kamtansiber tidak untuk dipertentangkan dengan UU lain. Ada yang menyatakan sebuah UU lebih penting dari UU lainnya. Prinsipnya, kata dia, semua UU sama pentingnya untuk keamanan, ketahanan, kenyamanan, kemakmuran dan kesejahteraan bangsa.
Ada yang memuji semangat DPR dalam menyelesaikan RUU Kamtansiber sebagai payung hukum baru dalam keamanan dan ketahanan siber nasional yang selama ini berjalan sektoral.
Ada juga yang mengkritik keberadaan RUU tersebut karena dianggap usang dan tidak relevan dengan perkembangan teknologi global.
"Untuk bagaimana aturan detil teknis tentu akan dibicarakan bersama stakeholder. Karena ini semangatnya ke-Indonesiaan dan mungkin ada protokol baru (dalam RUU). Artinya ada satu knowledge, kalau kita enggak kalah. Kita punya batik/kekhasan, orang luar enggak punya," ujarnya.
RUU Kamntansiber pasti mengadopsi aturan internasional tetapi dasarnya tetap unsur ke-Indonesiaan sehingga disebut khusus. Secara teknis, ujar Tedi, itu akan diturunkan di PP.
"Kan enggak mungkin disebutkan kita akan meniru internasional ITU (Uni Telekomunikasi Internasional), konsep Amerika dan lainnya."
Mengenai Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang bakal menjadi leading sector berdasarkan amanah dalam Perpres dan Undang-Undang, Tedi berpendapat beleid di dalam RUU mengharuskan terbukanya ruang komunikasi antar unit siber yang melekat di institusi negara.
Itu sekaligus menjawab kekhawatiran terjadinya overlapping kewenangan. Menurut dia, dengan adanya pengaruran yang jelas, maka akan muncul sinergitas dan konsolidasi dalam penanganan ranah siber nasional.
Pasal 2 RUU Kamtansiber menyatakan tujuh asas keamanan dan ketahanan siber. Ketujuhnya adalah Kedaulatan, Ketepercayaan, Profesionalitas, Kesiapsiagaan, Berdaya Saing, Kepastian Hukum dan Kolaboratif.
"Dalam RUU ini yang perlu diingat tidak hanya BSSN (terlibat). Di situ ada Kepolisian, TNI dan Kementerian lain. Tetapi untuk khusus siber yang berkewenangan untuk mengatur dan mengkonsolidasikan adalah BSSN dimana diamanahkan menjadi leading sector-nya."
Semangat kolaboratif juga terlihat saat menyinergikan berbagai lembaga yang punya kewenangan dalam melakukan pengawasan keamanan siber. Itu akan menjadikan layanan siber di Indonesia lebih unggul dan berkualitas.
"Dalam RUU saya lihat ada usulan untuk sertifikasi SDM, alat, dan komponen. Jadi ini akan menjadi diskursus tersendiri dengan industri termasuk juga asosiasi. Tetapi ruh-nya adalah bahwa selama ini kita tidak ada [lembaga] yang berwenang mengatur sertifikasi terkait keandalan sumber daya siber itu," katanya.
Share: