IND | ENG
Bedakan Ekonomi Digital dengan E-Commerce

Komisioner Komisi Komunikasi dan Edukasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Edib Muslim | Foto: Faisal Hafis

Bedakan Ekonomi Digital dengan E-Commerce
Arif Rahman Diposting : Kamis, 25 Juli 2019 - 09:30 WIB

Jakarta, Cyberthreat.id - Komisioner Komisi Komunikasi dan Edukasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Edib Muslim mengingatkan perbedaan antara e-commerce dengan ekonomi digital yang istilahnya muncul di dalam perjanjian perdagangan global. 

"Harus kita pahami e-commerce itu bukan ekonomi digital," kata Edib di Jakarta, Rabu (24 Juli 2019).

Edib mengatakan istilah ekonomi digital yang paling komprehensif terdapat di Deklarasi Osaka tentang pengaturan dan aliran data antar negara.

Indonesia bersama India dan Afrika Selatan tidak ikut menandatangani Osaka Track yang dilakukan oleh Negara G-20 pada 28-29 Juni 2019. 

Salah satu penyebab Indonesia tidak ikut serta adalah belum memiliki kerangka hukum perlindungan konsumen atau data pribadi. 

Menurut Edib, alasan itu juga yang membuat Indonesia dinilai abai terhadap perlindungan konsumen saat menghadiri United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) di Jenewa, Swiss, 8-9 Juli lalu.

"Ekonomi digital bicara aliran data yang semuanya bakal kena. Mau BUMN, swasta atau pemerintah, sejauh ada aliran data apapun, itu harus mengikat dan wajib menjaga keamanan data," ujarnya.

Data Transaksi

Data, kata dia, akan menjadi penentu kebijakan sebuah negara. Misalnya, jika data transaksi jika dikuasi pihak asing, maka itu bisa membaca kebutuhan dan keperluan sebuah bangsa. Ekonomi digital akan selalu bicara aliran data dan informasi tersebut.

"Kapan saya beli obat ada yang tahu, kapan saya beli beras ada yang tahu. Kalau orang tahu kebutuhan saya, berarti dia tahu berapa harus supply atau mereka bisa menahan bahan makanan kita untuk menyerang kelemahan kita," ujarnya.

Demikian juga dengan data transaksi konsumen di Indonesia. Edib menilai Indonesia harus berdaulat soal data. Selain hak penuh atas data, Indonesia juga harus memastikan seluruh aliran keluar-masuk data berada di atas backbone konektivitas nasional.

Ia mencontohkan Palapa Ring yang harus dikendalikan penuh oleh negara. Dalam hal ini yang mengelola adalah Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

"Misalnya di Bali ada transaksi Alipay, tapi pakai satelit China. Itu seharusnya pakai satelit Telkom agar tercatat dalam transaksi kita dan tercatat di BI. Kalau tidak tercatat, nanti ketika ada dispute sama China kita gak punya datanya. Inilah ciri ekonomi digital."

Persoalan data yang membuat Indonesia tertinggal dalam perlindungan konsumen. Ia membandingkan kasus perlindungan konsumen Indonesia dalam beberapa tahun terakhir hanya 2 ribu, sementara Brasil memiliki 500 ribu kasus dan Uni Eropa sampai menangani 62 juta kasus perlindungan data pribadi.

"Itu artinya banyak konsumen kita yang gak ngadu. Mereka tahu diperas, mereka tahu dipermainkan, mereka tahu ditipu, tapi gak tau apa yang harus dilakukan," ujarnya.

#bpkn   #bigdata   #ekonomidigital   #e-commerce

Share:




BACA JUGA
Luncurkan Markas Aceh, Wamen Nezar Dorong Lahirnya Start Up Digital Baru
Wujudkan Visi Indonesia Digital 2045, Pemerintah Dorong Riset Ekonomi Digital
Ekonomi Digital Ciptakan 3,7 Juta Pekerjaan Tambahan pada 2025
Percepatan Indonesia Jadi Hub Regional Big Data se-Asia
Pelindungan Konsumen Perkuat Kepercayaan pada Keuangan Digital