
Ilustrasi
Ilustrasi
Jakarta, Cyberthreat.id - Lebih dari 90 persen bisnis aplikasi gagal. Presiden Bukalapak, Fajrin Rasyid, mengatakan sepanjang pengalamannya membangun Bukalapak menjadi Unicorn, ia bersabar hingga merasakan return/untung dalam waktu cukup lama.
"Bisnis aplikasi itu high risk, high return. Pada awalnya kami juga belum tahu juga apakah startup itu akan berhasil," kata Fajrin di Kementerian Perdagangan, Selasa 16 Juli 2019.
Fajrin menyebut teknologi aplikasi harus menjadi solusi agar bisa bertahan. Untuk menjadi solusi tidak mudah. Aplikasi yang tidak menarik dan dan tidak berguna pasti ditinggalkan Milenial sebagai konsumen utama.
Buktinya, smartphone berbasis sistem operasi (OS) BlackBerry maupun berbasis Windows Phone gagal karena tidak mampu menyediakan aplikasi yang bagus dan menjadi solusi bagi penggunanya.
Profesor Thomas R. Eisenmann dari Havard Business School berpendapat serupa. Bisnis rintisan atau startup kebanyakan berujung pada kegagalan karena mengembangkan produk yang salah dan tidak menjadi solusi bagi konsumen.
Sebut saja aplikasi dari luar negeri yang akhirnya gagal karena tidak mampu mendatangkan solusi. Juicero.com, Teforia.com, Beepi.com, Pets.com, KotaGames, hingga Superdeals SingTel yang akhirnya gulung tikar.
Sebaliknya Android dan iOS atau iPhone berjaya karena mampu menghadirkan banyak aplikasi.
"Bisnis aplikasi adalah equity investment. Yaitu ketika rugi buntung, tapi kalau berhasil untungnya bisa naik ratusan persen kali lipat," ujarnya.
Fajrin mengatakan investor asing jauh lebih paham berinvestasi di startup ketimbang investor nasional. Pendapat ini mengundang pro kontra, tapi pria lulusan Teknik Informatika ITB ini punya alasan kuat kenapa ia berkata demikian.
Sampai Bukalapak menjadi Unicorn, Fajrin mengaku lebih sering di datangi orang asing untuk berdiskusi dan berinvestasi ketimbang orang dalam negeri. Asing seperti Amerika Serikat, Eropa dan China sudah melihat potensi Indonesia lebih dulu.
"Asing itu lebih familiar dengan industri startup dan teknologi ini," ujarnya.
Persoalan berikutnya adalah kendala regulasi. Menurut Fajrin, setiap kali dirinya bertemu dengan BUMN, ia selalu mendapat anggapan bahwa negara memandang bisnis aplikasi sama dengan berinvestasi di Tambang yang berorientasi keuntungan.
Jika rugi, maka uang negara yang disalahgunakan bakal berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kalau pun ada regulasi yang mengizinkan uang negara berbisnis aplikasi, maka itu harus di sektor finansial seperti Fintech.
"Makanya saya sering mengompori BUMN. Misalnya saya bertanya begini, kenapa harus Telkom Jepang yang invest startup di Indonesia, kenapa enggak Telkom-nya Indonesia," ujar Fajrin.
Share: