
Ilustrasi | Foto: freepik.com
Ilustrasi | Foto: freepik.com
Cyberthreat.id – Layanan kesehatan berbasis teknologi informasi berkembang cepat di masa pandemi Covid-19. Ramai startup-startup teknologi mengembangkan aplikasi telemedis atau sistem manajemen klinik.
Dengan serbadigital tersebut, pasien semakin mudah untuk berobat, janji ketemu dengan dokter, dan berkonsultasi kesehatan secara real-time.
Namun, satu hal yang juga menjadi perhatian ialah bagaimana para startup itu mengamankan segala lalu lintas data yang dipertukarkan di aplikasi?
Pertukaran informasi pribadi tersebut sangat rentan bocor. Sudah banyak insiden kebocoran data pasien beredar di internet. Salah satunya basis data yang diduga milik Kementerian Kesehatan pada tahun lalu. (Baca: Peretas: Saya Mengeksploitasi Seorang Pegawai Kemenkes)
Setidaknya ada tiga risiko utama aplikasi kesehatan (mobile health/mHealth).
Pertama, kerentanan pada aplikasi. Ketika mendesain aplikasi, mungkin pengembang tidak cermat, terlebih memanfaatkan momentum pandemi, penulisan kode juga bisa terburu-buru sehingga terdapat celah keamanan data.
Sebuah studi HealthGlobal menemukan bahwa lebih dari 80 persen aplikasi Covid-19 membocorkan data, tulis Health Tech Magazine, diakses Kamis (10 Februari 2022).
Saat dilakukan pengujian, sekitar 70 persen apliksi medis memiliki sedikitnya satu kerentanan keamanan tingkat tinggi.
Kedua, faktor risiko lain yang berpengaruh ialah perangkat pengguna. Ponsel pintar dapat dicuri atau hilang sehingga akses data pribadi pengguna sangat dimungkinkan.
Dan, masalah ketiga, tentu saja faktor orang di belakang perangkat. Manusia biasanya menjadi celah yang paling rentan di antara aspek keamanan siber.
Kesembronoan dalam memakai perangkat atau aplikasi atau menyimpan data pribadi bisa membawa petaka kebocoran data. Apalagi bila pengguna tidak mempedulikan keamanan, seperti berbagi kata sandi, hal ini meningkatkan paparan ancaman.
Internal atau pihak ketiga
Yang perlu diperhatikan, terutama oleh penyedia aplikasi, ialah bagaimana aplikasi tersebut dikembangkan. Apakah aplikasi dibangun oleh tim internal sendiri atau memakai pengembang pihak ketiga.
Jika memakai pihak ketiga, tentu harus ada mekanisme perjanjian dengan vendor tersebut. “Vendor perlu dievaluasi,” tulis Health Tech Magazine.
Penyedia aplikasi harus meminta bukti pemrosesan data pengguna bagaimana data itu disimpan, diproses, dan dibagikan.
”Mengevaluasi sejauh mana vendor mengidentifikasi ancaman terhadap data, dan bagaimana mereka menanggapi ancaman yang diketahui dan baru ditemukan juga harus menjadi konsen penyedia aplikasi.
Pastikan bahwa vendor memahami tanggung jawab dan memiliki proses untuk mendeteksi dan mengelola potensi pelanggaran keamanan, termasuk berpedoman pada regulasi yang berlaku.
Tips
Lalu, bagaimana mengamankan aplikasi kesehatan yang dipakai? Tentu faktor-faktor mendasar keamanan siber harus diterapkan. Berikut ini tips yang perlu diperhatikan pengembang dan pengguna aplikasi, antara lain:
Share: