
Ilustrasi
Ilustrasi
Jakarta, Cyberthreat.id - Jika saat ini anda adalah seorang mahasiswa tentu diwajibkan memiliki skill atau kemampuan di bidang digital atau teknologi informasi. Apapun itu, hampir seluruh sendi kehidupan ke depan akan melibatkan digitalisasi dan otomatisasi untuk mempermudah kehidupan.
"Ada tiga hal yang menjadi peluang besar di zaman digitalisasi ke depan," kata Staf Ahli Kementerian Kominfo, Lis Sutjiati, saat memaparkan materi diskusi di Jakarta, Kamis (11 Juli 2019).
Pertama adalah konsep sharing economy di era digital. Menurut dia, konsep ini harus menjadi perhatian para mahasiswa atau profesional untuk mengambil keputusan dan melangkah.
Sharing economy membuat pintu semua peluang terbuka di berbagai bidang. Jika dulu ekonomi hanya dikuasai satu atau beberapa pemain besar, maka sharing economy bisa membuat puluhan juta masyarakat Indonesia terlibat.
Lis mencontohkan bagaimana bisnis perhotelan dan pariwisata mengalami berbagai inovasi. Lewat Internet of Things (IoT), big data, AI, chatbot dan sebagainya, melibatkan puluhan juta masyarakat bisa masuk ke dalam bisnis hotel lewat Traveloka atau Tiket.com.
"Digitalisasi membuat 60 juta rakyat biasa bisa masuk ke ekonomi digital secara langsung. Ini namanya sharing economy. Nah, tugas pemerintah adalah membukakan pintu," kata Lis.
Kedua adalah adalah workforce digitalisation. Lis mencontohkan Go-Jek yang bisa memberi manfaat kepada puluhan juta orang lewat layanannya. Awalnya Go-jek hanya layanan transportasi online lalu berkembang menjadi Go-Food, Go-Clean, Go-Med, Go-Auto, Go-Laundry, Go-Give, Go-Deal dan sebagainya.
"Its increase alot. Artinya, semua orang mendapatkan banyak benefit dan ini baru Go-Jek saja. Bagaimana yang lain," ujarnya.
Ketiga adalah Financial Inclusion yang artinya membuka banyak kesempatan baru. Misalnya Bukalapak dan Tokopedia menghasilkan banyak pedagang baru, tapi tanpa perlu toko, tanpa bayar sewa dan bayar tempat. Hanya modal ponsel dan toko digital di ruang cyber.
"Jadi tidak ada lagi istilahnya Jakarta sentris karena dalam digitalisasi itu toko bisa ada dimana saja," ujarnya.
Dalam konteks digital payment, inclusiveness membuka aliran baru misalnya pendanaan. Dulu, banyak yang tidak paham digital payment sehingga harus diberi literasi. Bahwa sekarang itu orang tidak perlu lagi bank, tapi hanya lewat aplikasi dapat aliran modal.
Dalam konteks ini, Lis menegaskan bahwa kerja sama antara bank dan lembaga keuangan digital perlu dikuatkan lebih dulu.
"Dari ketiga hal itu kita belum masuk sisi proteksi dan keamanannya atau cybersecurity. Literasinya bagaimana? Edukasinya bagaimana? Nah, para mahasiswa atau profesional tolong pelajari ini sekarang."
Share: