
Ilustrasi | Foto: freepik.com
Ilustrasi | Foto: freepik.com
Cyberthreat.id – Di saat kehidupan dunia fisik beralih ke dunia maya, termasuk pers, ruang siber sebenarnya telah menjadi ruang publik secara virtual. Hanya, pers masih lemah dan tidak menyadarinya sehingga tidak menjaga keamanan siber platform digitalnya.
Hal tersebut terjadi karena Undang-Undang Pokok Pers belum mewadahi tentang kewajiban digital.
“Saya belum baca hingga sekarang ada pengaturan dari Dewan Pers yang mewajibkan media online untuk memiliki keandalan teknologi sibernya,” ujar Pemimpin Redaksi Cyberthreat.id Nurlis Effendi dalam diskusi publik bertajuk “Edukasi dan Literasi Keamanan Informasi Sektor Media” yang dilakukan secara hibrida, Selasa (14 Desember 2021).
“Hukumannya tidak ada kalau umpama saya memiliki media diretas, ada tuh Tempo.co dan Tirto.id pernah diretas—itu masih lumayan cuma diganti konten secara sederhana, tapi kalau konten itu diubah dengan konten adu domba, bagaimana?” Nurlis melemparkan tanya.
Jika situasi seperti itu terjadi, kata dia, siapa yang bakal bertanggung jawab: apakah media itu sendiri mau bertanggung jawab? “Seharusnya media juga ikut bertanggung jawab karena kurang peka terhadap keamanan sibernya, ini yang harus diformulasikan,” katanya.
“Tidak bisa, seumpama saya menyediakan platform media, kemudian diretas karena kelemahan keamanan sibernya, kemudian menjadi konflik yang meluas, bahwa ada penjahat yang menerobos. Tapi, saya sebagai media ikut bertanggung jawab moral juga dong.”
“Karena keamanan publik ketika men-share nilai informasi itu menjadi tanggung jawab media, bahwa ada informasi bersih yang meluncur ke publik, bukan informasi polusi,” Nurlis menegaskan.
Standar keamanan
Nurlis dalam paparannya juga menyoroti perlunya standar keamanan siber di media massa. Dewan Pers dan Badan Siber dan Sandi Negara sebaiknya bisa merancang bagaimana bentuk-bentuk keamanan siber yang dibutuhkan oleh media massa.
Untuk saat ini, kata dia, memang belum terjadi peretasan media daring yang kemudian memuat konten-konten adu domba yang merugikan publik. Namun, konten pornografi dan segala macamnya seharusnya juga tetap menjadi perhatian.
Nurlis lalu menceritakan bagaimana pengalaman bertahun-tahun sebagai jurnalis serta mendirikan beberapa media daring juga mengalami serangan siber, seperti distributed denial of service (DDoS). Salah satu pengalaman yang paling membuat dirinya stres ketika media daring Atjehpost diretas. Peretas melakukan deface (mengubah tampilan halaman situs web) menjadi gambar porno.
“Bayangkan di Aceh, saya mengelola media online, kemudian [situs webnya] menjadi gambar porno. Saya diserang. Masyarakat kan tidak mau tahu kenapa media saya jadi gambar porno,” katanya.
Hadir pula sebagai narasumber, antara lain Juru Bicara BSSN Anton Setiyawan, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Rawanda Wandy T, Ketua Komisi Pendanaan dan Sarana Organisasi Dewan Pers Hassanein Rais.[]
Redaktur: Andi Nugroho
Share: