
Pemimpin Redaksi Cyberthreat.id Nurlis Effendi | Foto: Tangkapan layar Cyberthreat.id/Bagas Tri Atmaja
Pemimpin Redaksi Cyberthreat.id Nurlis Effendi | Foto: Tangkapan layar Cyberthreat.id/Bagas Tri Atmaja
Cyberthreat.id – Budaya keamanan siber seharusnya menjadi refleks masyarakat Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Kepedulian terhadap keamanan siber seharusnya sudah berada di alam bawah sadar setiap orang.
Hal itu dikatakan oleh Pemimpin Redaksi Cyberthreat.id Nurlis Effendi saat menjadi pembicara dalam diskusi publik bertajuk “Edukasi dan Literasi Keamanan Informasi Sektor Media” yang dilakukan secara hibrida, Selasa (14 Desember 2021).
Ia menanggapi isu budaya keamanan siber yang disampaikan oleh Juru Bicara Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Anton Setiyawan yang juga menjadi narasumber di acara tersebut.
Sebelumnya, Anton mengatakan, tantangan yang dihadapi masyarakat di dunia siber tidak diimbangi dengan budaya keamanan siber yang diciptakan. “Salah satu parameter, misalnya, kata sandi. Kata sandi yang dipakai banyak orang, ya di situ-situ saja. Tantangannya makin besar, tapi budayanya di situ-situ saja. Akhirnya, bukan karena kejahatannya yang canggih, tapi posisi budaya kita yang belum sampai,” ujar Anton. (Baca: Jubir BSSN: Tantangan yang Dihadapi Kian Besar, Budaya Siber Kita Masih Tertinggal)
Hadir pula sebagai narasumber, antara lain Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Rawanda Wandy T, Ketua Komisi Pendanaan dan Sarana Organisasi Dewan Pers Hassanein Rais.
Menurut Nurlis, ketika budaya keamanan siber telah menjadi refleks masyarakat, ini bisa dianalogikan seperti larangan merokok yang diterapkan oleh pemerintah Singapura. “Ketika kita ke Singapura, kita tahu tidak boleh merokok di sembarang tempat, itu sadar karena ada hukum. Tapi, bagi orang Singapura, mereka sadar untuk tidak merokok,” ujar Nurlis.
Praktik keseharian seperti itu yang masih belum berjalan di Indonesia, terutama terkait keamanan siber. Oleh karenanya, ia sepakat bahwa menciptakan budaya tersebut perlunya tiga hal kolaborasi, kompetisi, dan manajemen konflik.
“Kesadaran budaya keamanan siber ini bukan hanya masih rendah di media, tetapi juga di pemerintahan,” ujarnya sambil merujuk kejadian peretasan di situs web Polri. (Baca: Peretas Brasil ‘son1x’ Serang Subdomain Propam Polri, Satu Server Web Ditanam Backdoor)
Oleh karenanya, penting pers untuk mengembangkan budaya keamanan siber dengan berkolaborasi dengan pemerintah. “Kenapa perlu kolaborasi? Karena sama-sama pekerjaannya melindungi publik sebetulnya,” kata Nurlis.[]
Redaktur: Andi Nugroho
Share: