
Menkominfo RI Johnny G. Plate | Foto: Tangkapan layar Cyberthreat.id
Menkominfo RI Johnny G. Plate | Foto: Tangkapan layar Cyberthreat.id
Cyberthreat.id - Tantangan bertransformasi digital adalah adanya risiko kerentanan hingga pencurian data sehingga dibutuhkan bagaimana bentuk pertahanannya.
“Risiko virus itu sangat banyak karena serangan siber itu juga begitu banyak dan ini belum memasuki outbreak (wabah). Bagaimana jika ini terjadi outbreak: apakah kita siap (menghadapinya)? Ini yang perlu kita mitigasi,” ujar Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan.
Ia menyampaikan hal itu saat menjadi pembicara sesi talk show bertajuk “Digital Transformation in Southeast Asia: The Covid-19 Pandemic” dalam konferensi Southeast Asia Internet Governance Forum (SEA-IGF) yang digelar secara online dan offiline di Nusa Dua, Bali, Rabu (1 September 2021).
Menurut dia, risiko serangan virus di dunia siber sangat banyak, seperti sebelumnya pernah terjadi yaitu serangan ransomware. Pada 2017, terjadi serangan ransomware WannaCry yang menggegerkan sistem komputer dunia, termasuk di Indonesia.
Yang dikatakan Semuel senada dengan pernyataan Eva Noor, CEO perusahaan keamanan siber, Xynesis International, juga menjadi pembicara di acara tersebut. Eva menitikberatkan bagaimana kesiapan keamanan siber di era transformasi digital.
Menurut dia, transformasi digital memang memberi keuntungan ke banyak bisnis dan masyarakat. Tapi, bagaimana mendapatkan keuntungan tanpa mengumbar risiko yang diterima atau bagaimana bisa mengelola risiko tersebut.
“Ancaman siber ini kita bisa analogikan seperti virus dan bisa dibayangkan kalau pandemi (Covid-19) ini terjadi di keamanan siber. Dan, kita itu tidak siap karena tidak punya cukup ‘dokter’ atau ahli di dunia keamanan siber,” ujarnya.
Oleh karena itu, kata dia dalam merancang sebuah produk digital keamanan siber harus diletakkan di depan sebagai bagian dari mendukung keamanan pengalaman konsumen.
Ia mengatakan, saat ini di Indonesia masih kekurangan talenta di dunia keamanan siber dan Kementerian Kominfo punya banyak program pelatihan yang mencoba untuk mengecilkan kekurangan talenta tersebut. “Di Indonesia juga masih kurang keterlibatan perempuan dalam dunia keamanan siber,” ujarnya.
Untuk meningkatkan kesetaraan bagi perempuan tersebut, menurut dia, butuh dorongan dari pemerintah, industri, dan akademisi agar bisa mempromosikan pendidikan dan karier di dunia keamanan siber.
Sementara, Menteri Komunikasi dan Informatika RI Johnny G. Plate saat menyampaikan Keynot Speech juga menyinggung tentang berbagai ancaman siber yang terjadi di Indonesia.
Tercatat di Indonesia, sesuai data Badan Siber dan Sandi Negara, jumlah serangan antara Januari hingga Juli 2021 mencapai 741 juta serangan atau setara 40 serangan siber per detik. (Baca: Paruh Pertama 2021, Jumlah Serangan Siber di Indonesia Capai 741,44 Juta, Melebihi Total Serangan Tahun Lalu)
Oleh karenanya, penting bagi platform digital mengantisipasi ancaman dan serangan siber. Apalagi banyak jenis ancaman di dunia siber, seperti ujaran kebencian dan gangguan informasi.
“Seperti yang dikemukakan oleh penemu web, Sir Timothy John Berners-Lee, setidaknya ada tiga sumber disfungsional di internet yaitu munculnya niat jahat, pengabaiaan nilai pengguna karena desain sistem, dan konsekuensi negatif dari desain yang baik. Semua itu hanya bisa diatasi dengan upaya kolektif,” tuturnya.
Di satu sisi, Johnny juga menekankan bahwa tata kelola internet memiliki dinamika dan kecepatan tersendiri. Pemerintah harus berbagi tanggung jawab dengan berbagai pemangku kepentingan baik itu komunitas keamanan siber, akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan industri.
Acara pembukaan SEA-IGF dihadiri secara virtual Gubernur Provinsi Bali, I Wayan Koster dan Kepala Sekretariat Forum Tata Kelola Internet Perserikatan Bangsa-Bangsa, Chengetai Masango.
Sementara dalam talk show, hadir pembicara lain, seperti Dirjen Sumber Daya Pos dan Perangkat Pos dan Informatika Ismail, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Usman Kansong, dan Direktur Utama BAKTI Anang Latief.
Lalu, Assistant Chief Executive International Infocomm Media Development Authority Singapore (IMDA) Foo Chi Hsia, Ketua IdeA Bima Laga, Direktur Kebijakan Publik Google Indonesia Putri Alam.
SEA-IGF berlangsung dua hari (Rabu-Kamis, 1-2 September) secara hibrida dan diikuti lebih dari 1.700 peserta dari 44 negara. Kegiatan tahunan ini diselenggarakan untuk memperkaya diskusi tentang peluang dan tantangan tata kelola internet.[]
Share: