
Telegram | Foto: Freepik.com
Telegram | Foto: Freepik.com
Cyberthreat.id – Sejak tahun lalu, teori konspirasi tentang wabah virus corona (SARS-Cov-2) telah menggelinding luas di media sosial.
Salah satu teori konspirasi yang beredar itu menyebut bahwa virus yang kini mematikan lebih dari 4 juta jiwa di seluruh dunia per 2 Agustus (worldmeters.info) berasal dari kebocoran sebuah laboratorium di Wuhan, China.
Wuhan adalah sebuah kota di China tempat kasus penyakit Covid-19 pertama ditemukan. Makanya, kala itu, Presiden AS Donald Trump lebih condong menamai virus corona itu dengan virus Wuhan—sebuah pernyataan yang lebih sentimentil politik. Namun, WHO sebagai badan kesehatan dunia kemudian menamai virus itu secara resmi sebagai SARS-Cov-2 dan penyakitnya disebut Covid-19 yang lebih netral.
Facebook, Twitter, dan platform media sosial lainnya memblokir unggahan yang mempromosikan teori kebocoran lab. Namun, berbeda halnya dengan Telegram, platform pesan daring.
Menyikapi munculnya teori konspirasi seperti itu, CEO Telegram, Pavel Durov mengatakan, bahwa platformnya sama sekali tak berniat untuk menghapus informasi yang berbau teori konspirasi.
“Telegram tidak pernah memblokir postingan yang membahas teori kebocoran lab. Karena, menurut kami, bukan tugas kami untuk memutuskan apa yang harus dipercayai oleh pengguna kami,” tutur Pavel di saluran Telegram-nya, Durov’s Channel yang memiliki lebih dari 590 ribu subsciber, dikutip Senin (2 Agustus 2021).
Di sisi lain, ia mendukung bahwa pengguna Telegram harus diberi tahu tentang Covid-19 melalui sumber resmi yang mencerminkan konsensus ilmiah. Inilah yang mendorong Telegram bekerja sama dengan 19 pemerintah untuk menjangkau pengguna dengan informasi terkini tentang wabah tersebut.
Keputusan untuk tidak memblokir, menurut Pavel, berdasarkan pola pengamatannya selama 20 tahun terakhir. “Teori konspirasi hanya menguat setiap kali kontennya dihapus oleh moderator,” ujar dia
“Alih-alih mengakhiri ide-ide yang keliru, penyensoran seringkali mempersulit untuk melawannya,” ia menambahkan. Itulah alasannya, tuturnya, Telegram lebih memilih strategi untuk menyebarkan kebenaran yang dipandang lebih efisien ketimbang terlibat dalam penyensoran.
Sejak 29 Juli lalu, Telegram telah meminta lebih banyak pemerintah untuk bergabung dengan program “Telegram Anti-Covid”, “untuk memastikan lebih banyak orang di seluruh dunia mendapatkan akses pengetahuan penting yang dapat menyelamatkan jiwa,” ujar dia.[]
Share: