IND | ENG
Di Balik Batalnya Pembelian Mobil Tesla dengan Bitcoin

Ilustrasi Tesla dan Bitcoin | Foto: bitcoininsider.org

Di Balik Batalnya Pembelian Mobil Tesla dengan Bitcoin
Andi Nugroho Diposting : Senin, 17 Mei 2021 - 12:53 WIB

Cyberthreat.id – Elon Musk, bos Tesla, batalkan rencana pembelian mobil listriknya dengan Bitcoin, termasuk menjual mata uang kripto (cryptocurrency). Alasannya karena faktor energi.

Musk memandang penambangan dant transaksi Bitcoin butuh energi yang besar. Sampai prosedur penambangan dan transaksi ini beralih ke “energi yang lebih berkelanjutan” ketimbang batu bara atau bahan bakar fosil, dirinya tak akan memakai Bitcoin.

“Kami prihatin tentang peningkatan pesat penggunaan bahan bakar fosil untuk penambangan dan transaksi Bitcoin, terutama batu bara, yang memiliki emisi terburuk dari bahan bakar apa pun,” tweet Musk pada Rabu 12 Mei 2021).

Tesla, kata dia, tidak akan menjual Bitcoin apa pun saat ini, tapi akan mempertahankannya sampai ada transisi penambangan ke energi yang lebih berkelanjutan. Juga melihat mata uang kripto lain yang menggunakan “kurang dari satu persen dari energi/transaksi Bitcoin.

Cryptocurrency adalah sebuah ide bagus di banyak level dan kami yakin itu menjanjikan masa depan, tapi hal itu tidak akan dapat berdampak besar pada lingkungan,” tutur Musk.

Pada Maret lalu, di Twitter-nya, Musk dengan bangga mengumumkan bahwa Tesla bakal bisa dibeli dengan Bitcoin. Bahkan, dia menargetkan pembelian bakal tersedia di luar AS pada akhir tahun ini. Pengumuman ini setelah Musk membeli mata uang kripto senilai US$1,5 miliar—dan menjadi pelecut harga Bitcoin melonjak drastis.

Gara-gara cuitan tersebut, pekan lalu, harga Bitcoin turun hanya dalam waktu 10 menit (dari US$54.602 menjadi US$52.467). Menurut RT.com, kemungkinan yang dilakukan Musk sebagai cara untuk menurunkan harga sebelum kemudian membelinya lagi, tapi pendapat ini belum terkonfirmasi.

Sejak pengumuman itu, sejumlah pembeli Cybertruck buatan Tesla—mobil truk bertenaga baterai yang serbalistrik dan dirancang dengan performa mobil sport—protes menanggapi cuitan itu. Mereka juga akan membatalkan pembelian.

Yang tak diketahui di baliknya

Yang orang umum ketahui soal Bitcoin adalah menghasilkan uang besar. Memiliki satu Bitcoin saja, Anda sudah merasa lebih dari cukup. Harga 1 Bitcoin saat artikel ini ditulis adalah US$43.666 (Rp600 juta)

Namun, yang tak banyak diketahui orang, bahwa penambangan dan transaksi Bitcoin butuh energi listrik yang luar biasa besar.

Indeks Konsumsi Listrik Bitcoin (CBECI) 2021 yang dikeluarkan Universitas Cambridge mencatat per 12 Maret 2021 diperkirakan konsumsi daya tahunan jaringan Bitcoin (Bitcoin Network) mencapai 129 terawatt jam (TWh), lebih dari cukup untuk memberi daya untuk satu negara, seperti Norwegia selama satu tahun—negara ini hanya butuh 124 TWh dengan penduduk 5,4 juta jiwa. Sementara, Bangladesh, misalnya, dengan penduduk 165,7 juta jiwa konsumsi listrik tahunannya 70 TWh.

Ketika pengguna Bitcoin menambang, sebetulnya mereka sedang memperbarui buku besar transaksi Bitcoin—atau dikenal dengan blockchain. Untuk aktivitas ini, mereka memecahkan “teka-teki numerik heksadesimal 64 digital” yang dikenal sebagai hash, dikutip dari Visual Capitalist, diakses Senin (17 Mei).

Untuk alasan pemecahan hash itulah, fasilitas penambangan Bitcoin—gedung yang berisi banyak komputer—bermunculan di banyak negara. Gedung inilah yang meningkatkan hashrate penambang. Hashrate adalah kecepatan jaringan atau kekuatan komputasi yang diperlukan untuk menambang.

Ketika hashrate tinggi artinya butuh listrik lebih banyak, bahkan dalam beberapa kasus bisa membebani sumber daya lokal. Ini terjadi terjadi di Iran. (Baca: Krisis Listrik, Iran Salahkan Pertambangan Bitcoin Merajalela dan Sita 45 Ribu Mesin Tambang)

Sebelumnya, Bitcoin yang mulai dikenalkan ke publi pada 2009 bisa ditambang di komputer biasa. Dan, hanya tersedia 21 juta. Semakin banyak bitcoin yang ditambang, semakin sulit algoritma yang harus dipecahkan untuk mendapatkan Bitcoin, tulis The Guardian.

Sekarang setelah lebih dari 18,5 juta Bitcoin telah ditambang, rata-rata komputer tidak dapat lagi menambang Bitcoin. Sebagai gantinya, penambangan sekarang membutuhkan peralatan komputer khusus yang dapat menangani kekuatan pemrosesan intens yang dibutuhkan untuk mendapatkan Bitcoin. Dan tentu saja, komputer khusus ini membutuhkan banyak listrik untuk menjalankannya.

Negara sendiri

Dengan perbandingan kebutuhan konsumsi listrik tadi, Bitcoin selayaknya sebuah negara. Sebagai perbandingan saja, konsumsi listrik nasional Indonesia selama semester pertama 2020 mencapai 138,6 TWh, tulis Kompas.com.

Dalam laporan tahun 2020, Universitas Cambridge mendapati bahwa 76 persen penambang (cryptominers) bergantung pada beberapa level energik terbarukan untuk menjalankan aktivitas mereka. Namun, energi terbarukan hanya menyumbang 39 persen dari total konsumsi energi cryptomining.

Energi hidroelektrik adalah sumber paling umum secara global, dan digunakan oleh setidaknya 60 persen cryptominers di Asia Pasifik, Eropa, Amerika Latin dan Karibia, dan Amerika Utara. Jenis energi bersih lainnya seperti angin dan matahari tampaknya kurang populer, tulis Universitas Cambridge.

Sementara, energi batu bara memainkan peran penting di kawasan Asia-Pasifik, dan merupakan satu-satunya sumber yang cocok dengan pembangkit listrik tenaga air dalam hal pemkaiannya. Konsumsi terbesar ada di China.

Saat cryptocurrency bergerak lebih jauh ke arus utama, kemungkinan pemerintah dan regulator akan mengalihkan perhatian mereka ke jejak karbon industri.

Mike Colyer, CEO Foundry, penyedia pembiayaan blockchain, meyakini bahwa cryptomining dapat mendukung transisi global ke energi terbarukan. Lebih khusus lagi, dia percaya bahwa mengelompokkan fasilitas cryptomining di dekat proyek energi terbarukan dapat mengurangi masalah umum: kelebihan pasokan listrik.

“Ini memungkinkan pengembalian yang lebih cepat pada proyek tenaga surya atau proyek angin ... karena mereka [jika tidak] akan menghasilkan terlalu banyak energi untuk jaringan di area itu,” tutur dia.

Gagasan tersebut juga telah diadopsi di China. Pada April 2020, Ya'an, sebuah kota yang terletak di Provinsi Sichuan di China, mengeluarkan panduan publik yang mendorong perusahaan blockchain untuk memanfaatkan kelebihan tenaga airnya.

Saat ini, lebih dari 65 persen penambang Bitcoin berada di China diikuti oleh AS dan Rusia dengan sekitar tujuh persen, menurut Universitas Cambridge, dikutip dari DW.

Yang menjadi problem saat ini dan belum menjadi perhatian ialah tidak ada badan atau organisasi pemerintah yang secara resmi melacak, di mana Bitcoin ditambang dan jenis listrik apa yang digunakan penambang, tidak ada cara untuk mengetahui apakah penambang menggunakan listrik yang digerakkan oleh energi terbarukan atau bahan bakar fosil, tulis The Guardian.

Masalahnya adalah tempan penambangan dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain tergantung energi paling murah berada—inilah yang menyulitkan pelacakan.

Pusat Keuangan Alternatif Cambridge memperkirakan bahwa konsumsi listrik tahunan Bitcoin sekitar 148 terawatt jam (TWh) per 10 Mei lalu, sedangkan indeks yang dilacak Digiconomist mendekati 118 TWh per 18 Mei.

Satu transaksi bitcoin memiliki jejak karbon yang sama dengan 1,18 juta transaksi Visa atau 88.955 jam menonton YouTube, menurut Digiconimist di situs webnya.[]

#tesla   #elonmusk   #bitcoin   #energiterbarukan   #isulingkungan   #blockchain   #ransomware

Share:




BACA JUGA
Awas, Serangan Phishing Baru Kirimkan Keylogger yang Disamarkan sebagai Bank Payment Notice
Phobos Ransomware Agresif Targetkan Infrastruktur Kritis AS
Google Cloud Mengatasi Kelemahan Eskalasi Hak Istimewa yang Berdampak pada Layanan Kubernetes
Malware Carbanak Banking Muncul Lagi dengan Taktik Ransomware Baru
Awas! Bahaya Ekosistem Kejahatan Siber Gen Z