IND | ENG
Kami Gagap Tangani Perkara Digital, Aturannya Tidak Ada

Ketua KPPU RI Kodrat Wibowo | Foto: berita.upi.edu

KETUA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA – KODRAT WIBOWO
Kami Gagap Tangani Perkara Digital, Aturannya Tidak Ada
Tenri Gobel Diposting : Rabu, 12 Mei 2021 - 12:50 WIB

Cyberthreat.id – Isu merger perusahaan internet, antara Gojek dan Tokopedia, menjadi sorotan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Ada enam hal yang dikhawatirkan lembaga ini seandainya keduanya merger, salah satunya ada dominasi pasar. (Baca: Enam Hal yang Dikhawatirkan KPPU Jika Gojek dan Tokopedia Merger)

“Potensi penggabungan data merchant dan konsumen menjadi dominasi di marketplace,” tutur Komisioner KPPU Chandra Setiawan dalam sebuah acara virtual bertajuk "Isu Hukum Persaingan Usaha atas Rencana Merger Gojek dan Tokopedia" yang diadakan oleh FH Universitas Sriwijaya, akhir bulan lalu.

Ia beberkan data pelapak aktif di Tokopedia ada sekitar 350 ribu yang melayani 20 juta konsumen, lalu mitra gerai Gojek mencapai 900 ribu gerai dengan mitra driver 1,7 juta orang. Inilah big data, kata dia. Hal ini bisa menjadi “potensi penyalahgunaan big data yang bertujuan menyingkirkan yang lain atau persaingan usaha tidak sehat,” menurut Chandra.

Terpisah, Ketua KPPU Kodrat Wibowo mengatakan lembaganya memiliki sejumlah tantangan di era digital untuk menilai persaingan usaha perusahaan internet.

Regulasi yang minim, di mana tidak adanya kewenangan untuk menilai dari awal atau semacam pre-notifikasi, membuat KPPU sulit bergerak. Bertahun-tahun memperjuangan UU KPPU agar direvisi, kata Kodrat, hasilnya masih nihil.

Menurut Kodrat, dalam hal mendominiasi pasar, perusahaan internet memiliki pendekatan berbeda dengan perusahaan konvensional. Untuk menilai ada atau tidaknya praktik monopoli di lingkup ini, kata dia, butuh peningkatan mutu pegawai.

Berikut cuplikan wawancara wartawan Cyberthreat.id, Tenri Gobel dengan Kodrat Wibowo pada Kamis (6 Mei 2021):

Bagaimana peran KPPU di era digital ini?

Peran KPPU di era digital sama saja dengan di era nondigital. KPPU hadir sesuai dengan amanat undang-undang, mengawasi persaingan usaha agar bekerja menghindari praktik monopoli.

Di era digital, karena platformnya berbeda, ekosistem berbeda, penggunaan teknologinya sangat spesifik terkait dengan transaksi. Penggunaan transaksi ini menjadikan potensi-potensi yang tidak boleh ada di negara ini—yaitu praktik monopoli maupun persaingan tidak sehat—makin besar.

Makin kencang teknologi, makin umum platform digital digunakan untuk kegiatan bisnis, ya makin banyak peran KPPU juga. Karena penggunaan teknologi ini jelas mengarah, utamanya, adalah penggunaan posisi dominan.

Jadi, peran KPPU di negara mana pun, justru di era digital ini, harus makin hati-hati ya. Karena pendekatan konvensional dari sisi saksi, dari sisi mekanisme strategi, itu relatif walaupun semangatnya sama. Cuma tidak mudah untuk dikemukakan indikasinya, modusnya sangat jauh berbeda.

Sama tidak peran KPPU dengan Federal Trade Commission (FTC) di Amerika Serikat?

Berbeda. Perbedaan pada domain konsumennya. Konsumen ada Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), itu undang-undangnya berbeda. Di kami, tujuan konsumennya hanya komplementer saja, tugas tambahan, bukan tugas utama ya. Sementara, FTC memegang domain konsumen dan pelaku usaha. (Tambahan: KPPU diatur melalui UU Nomor 5/1999, sedangkan BPKN terikat UU Perlindungan Konsumen).

FTC kan mengawasi praktik seperti pembelian startup...

Kalau di Indonesia, startup seperti usaha kecil mikro, kecil dan menengah, bukan tugas kami. Enggak ada tugas perlindungan UMKM, cuma pengecualian ya, kalau kita lihat UU Nomor 20/2008 tentang UMKM, ada tugas tambahan dari KPPU sebagai pengawas kemitraan UMKM.

Kalau mereka bermitra untuk bisa maju, yang kecil-kecil ini harus punya partner. Kalau mereka sangat kecil, ya terus-terusan kecil, ya silahkan! Tapi, biasanya pelaku usaha, kalau maju, ya harus bermitra dengan perusahaan besar. Itu yang biasanya terjadi praktik-praktik penguasaan, penzaliman.

Bagaimana jika hal seperti Facebook akuisisi Instagram terjadi di Indonesia?

Kalau bermitra, misalkan, yang paling gampang merchant sama marketplace, enggak mungkin merchant punya sendiri, jualan sendiri. Apa pun mitranya ini, kami hadir kalau perjanjiannya merugikan si UMKM ya; bisa dipertanyakan secara perdata kalau terpenuhi unsur yang mengarah kepemilikan atau penguasaan, pencaplokan uang atau pengendalian dari si besar terhadap si kecil menengah seperti itu.

Penyelidikan dilakukan setelah atau sebelum akuisisi?

Kalau laporan dari korban, kami cepat sekali bertindak. Kalau tidak ada laporan, kami tunggu masukan. Kami enggak sehebat KPK gitu yang bisa menyadap.

Kalau tidak ada laporan ya, kami kita tidak tahu terjadi upaya pencaplokan. Di UU Nomor 20/2008, masalah kemitraan ini lebih kepada upaya pendekatan bisnis ya. Jadi, lebih pada upaya pencegahan dengan tiga kali surat peringatan. Kalau si mitra ini masih nakal, kami minta untuk perbaiki hingga tiga kali. Walaupun sebetulnya bisa saja ya kami mulai imbauan advokasi, tapi tidak ada kewajiban itu.

KPPU tidak sekuat KPK ya dalam mengawasi?

Ya, iya. Kapan bisa menyadap telepon, menggerebek, borgol? Kami kan hukum administratif. Bahkan, kadang-kadang ada yang kami panggil pun, mau tidak mau, harus minta bantu kepolisian. Kalau tidak bisa kooperatif, ya kami bawa penyidik. Yang kami handle itu bukan orang, bukan penjahat, bukan koruptor, tetapi pelaku usaha.

Bayangan kamu KPPU seperti KPK bisa menyita bisa meringkus itu, ya? Itu ya pekerjaan remeh, itu pekerjaan tidak harus mikir. Kalau KPPU kan harus mikir panjang karena semua ini terkait dengan ekonomi

Menghukum pelaku usaha saja bisa berdampak, banyak orang nganggur, anggota keluarganya enggak makan jadinya. Ada yang dirugikan. Jadi, kami akan bekerja dengan senyap supaya ekonomi tetap jalan. Supaya ekonomi tetap bisa mengarah kepada efektif masyarakat.


Foto: Arsip KPPU


Artinya KPPU tidak menjemput bola?

Kami bisa bertindak, cuma gimana caranya? Kami enggak punya kemampuan. Kalau mau cepat, lapor saja. Gratis. Tidak seperti di Singapura yang melapor tuh harus bayar Rp 200 juta. Tapi, kami dituntut untuk bisa ini, bisa itu; KPPU dibilang jalan lebih lambat. Jadi, kalau dibilang KPPU “banyak diem lu”, karena tidak punya kewenangan itu.

Regulasi tidak memungkinkan KPPU melakukan pengawasan di awal?

Ya. Kalau pengawasan ketat, ganti undang-undangnya, sederhana saja. Kami perjuangkan undang-undang direvisi, sama seperti di luar negeri ya; sebelum terjadi (praktik monopoli/persaingan tidak sehat, red) kami sudah tahu.

Kelembagaan kami, kalau seperti ini, dibiarkan begini, tidak mungkin seperti diharapkan masyarakat: cepat. Kami juga sedikit SDM. Kami ada 400 orang, hampir semuanya bukan ASN, independen, di enam kantor wilayah. Saya kira bukan cuma masalah kewenangan, melainkan juga sumber daya anggaran. Kalau dibandingkan dengan KPK, kami tuh sepersepuluhnya. 

Kewenangan apa yang perlu ditambahkan di KPPU?

Supaya bisa berfungsi lebih baik, berikan kewenangan—menyadap enggak usahlah—minimal bisa menyita, kayak KPPU negara lain yang bisa menggerebek kantor. Kalau sekarang, ketika pemanggilan tidak datang, kami tidak bisa apa-apa; paling lapor ke polisi untuk dibantu, tapi kan tidak efektif.

Ada kewenangan lain yang diperlukan di era digital?

KPPU ditanya gimana merger, silakan saja merger. Undang-undangnya begitu. Mergernya sudah selesai, wajib notifikasi (ke KPPU), nanti kami periksa kalau memang ada potensi yang tidak baik, kami bisa batalkan. Tetapi, apakah itu efektif? Gila aja kalau sudah terjadi triliunan transaksi tiba-tiba, kami batalkan.

Jadi, kami kesannya tidak mendukung perekonomiannya yang baik ya. Kami paling banter minta tolong perbaiki remedial B. Itu sudah kami lakukan seperti itu, misal, mergernya XL sama Axis.

(Menurut dia, jika seperti UU di negara lain, ada perusahaan merger harus memberikan pranotifikasi. Mereka harus melapor, berkonsultasi, sehingga jangan sampai ada corporate action strategy yang mencederai atau bahkan menyinggung pasal-pasal yang tentang larangan. Namun, UU yang ada saat ini tidak ada kewajiban mereka untuk melaporkan sebelum merger).

Berarti  KPPU ini terjun setelah merger dilakukan?

Ya. Baru bisa turun setelah mereka jadi, lalu disahkan secara hukum oleh Kemenkumham. Lalu, masuk ke kami untuk diperiksa. Kalau ada masalah ya kami minta perbaiki. Kalau masalahnya besar, kami boleh minta pembatalan. Kami minta rekomendasi kepada Kemenkumham.

Tapi, ya aneh. Kok tujuannya kami jadi di ujung, kan? Katanya disuruh pencegahan, kalau pencegahan, pendekatannya seimbang dengan penegakan advokasi, kan harusnya di pranotifikasi.

Dalam sejarah KPPU, tidak pernah ada merger jika terjadi potensi atau ada pelanggaran, dibatalkan; enggak ada. Selalu kami minta diperbaiki. Titik. Remedial dilakukan. Kami masih berbaik hati merger telat setahun harusnya kan denda Rp25 miliar, kami masih baik.

Begitu lemahnya kami!

Kalau di China undang-undangnya jelas kok. Sebetulnya sih kita pengin ya seperti China.

Kalau di China ketat banget ya, bahkan ada UU monopoli baru?

Kalau di sana kan gampang, kan komunis. Ekonominya saja kapitalis. Keputusan apa pun, tidak usah debat antara eksekutif-legislatif, selesai itu. Kalau di kita kan perlu bertahun-tahun keluar masuk ke prolegnas, lobi sana-sini, enggak jadi juga.

Revisi UU Nomor 5/1999, coba baca saja, begitu panjang, begitu berat. Saya belum di situ sih, tapi saya juga terlibat. Jadi, tahu persis bagaimana kami berjuang untuk lima isu kok, salah satu isinya post-notification itu. Yang paling kenceng juga isu bagaimana bisa KPPU itu bisa menangani perkara di luar negara ya, luar batas negara.

Coba kamu bayangin: Freeport diambil alih oleh negara butuh enam bulan stuck karena harus minta izin KPPU China dan KPPU Filipina; ini karena undang-undang KPPU mereka bisa berlaku internasional.

Masih bagus pelaku usaha luar negeri mau lapor ke kami karena mereka pikir di semua negara harus begitu. Padahal, kalau mereka tahu, sebenarnya kamu tidak perlu lapor karena di Indonesia undang-undangnya sengaja dibuat untuk Anda. Tidak usah, tidak perlu lapor.

Jadi, bebas aja. Ini memang masalahnya, masalah politis saja sih, mau apa enggak gitu revisi itu dipenuhi? Kalau (ditanya) upaya usaha, baca aja berita-beritanya. Saya malas cerita lagi.

Selain revisi UU KPPU, ada regulasi lain yang perlu ditambahkan untuk menyikapi era digital ini?

UU digitalnya dibuat yang paling gampang. Pemerintah membuat UU perlindungan data pribadi. Itu saja wujudkan dulu. Karena sekarang bicara digital, bicara big data. Sumber dari masalah digital itu adalah kepemilikan sumber daya yaitu memanfaatkan data. Kalau datanya belum diatur, ya gimana kita mengatur, gimana KPPU bisa masuk ke situ.

Kedua, aturan OTT (over-the-top) dibuat saja. Google, Facebook, dan semuanya—yang sekarang kita pakai tiap hari—diatur di dalam negeri, karena mereka juga akan menjadi media iklan; menginjak-injak hak pribadi pengguna. Kalau enggak diatur, ya gimana KPPU bisa mengaturnya?

Apakah KPPU mengendus ada gelagat perusahaan digital mau mendominasi pasar?

Sudah. Kami setiap pekan bahas kok. Oh ini potensi penguasaan pasar, oh ini potensi penguasa sumber daya produsen…, tapi kami tidak bisa lakukan kepastian, iya atau tidaknya, kalau tidak ada yang lapor.

Kalau saya sudah memerintahkan untuk semua investigator melakukan inisiasi, walaupun (pengusaha) mereka belum lapor ke kami, analisis awal tentang penguasaan pasar setidaknya ada. Karena mereka digital, kompleks, kami lakukan lebih hati-hati; cuma itu saja sih.

(Kodrat mengatakan, KPPU sempat dipanggil Presiden Jokowi ke Istana. Dalam pertemuan itu, sempat dibahas isu merger perusahaan digital agar diperhatikan.)

Kalau dibilang mengendus sudah pasti kami juga hafal kira-kira pasar mana yang sangat multi-sided. Di merger ini (Gojek dan Tokopedia) ada jasa pengangkutannya, jasa keuangannya, jasa penjualan. Ini memang ada yang potensi untuk penguasaan, ada yang tidak. Makanya, paling banter kalau memang ada, ya kami akan rekomendasi untuk melakukan remedial agar tidak terjadi praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.

Gojek-Tokopedia itu belum notifikasi (ke KPPU) sepertinya belum selesai di Kemenkumham. Itu bisa tiga bulan waktunya memberi notifikasi, dokumen mana yang mau dikasihkan ke KPPU, mana yang mau disembunyikan, bisa saja itu. Kan haknya (mereka).

Lalu, dilakukan penilaiannya, bisa cepat, bisa lambat. Tapi, 30 hari setelah terima notifikasi merger harus ada. Itu nanti saya baru bisa ngomong, kalau sekarang ditanya orang, kami belum menerima karena memang hukumnya memang begitu.

Sekarang perusahaan internet yang lagi di bawah pengawasan KPPU, ada nggak?

Enggak. Enggak sampai ke sana. Kami tidak punya kemampuan. Kami paham bahwa dengan digital, praktik penetapan harga itu hampir semuanya dilakukan dengan artificial inteligence, dengan algoritma.

Coba tanya KPPU: siapa tahu algoritma? Saya saja enggak tahu. Kami juga belajar, meng-upgrade. Kalau pun sudah bisa: apakah komputer yang kita punya sudah bisa menjadi algoritma tandingan atau algoritma penguji? Belum juga.

Memahami algoritma itu kami masih belajar juga. Akhirnya, bukan hanya PR buat KPPU, aturannya juga belum ada, ya seperti inilah hasilnya. KPPU termasuk salah satu di antara kementerian/lembaga yang bergerak gagap gitu mau menangani perkara-perkara digital.

Adakah laporan dari masyarakat tentang platform internet, lalu dianalisis KPPU?

Kemarin kan sudah ada: Netflix dan Telkom. Hasilnya sudah keluar terbukti diskriminasi, tapi tidak menimbulkan praktik monopoli.

Partisipasi masyarakat penting ya?

Betul. Paling penting itu demi kemaslahatan rakyat. Intinya bukan pemerintahannya yang harus bagus. Sebuah negara gagal itu karena kombinasi antara pemerintah yang tidak amanah, legislatif yang tidak amanah, begitu juga dari masyarakat yang apatis.

Lantas apa harapan KPPU di era digital ini?

Harapan saya kembali ke KPPU ini bisa melaksanakan tugasnya lebih optimal. Kemajuan teknologi sangat cepat, sedangkan kami lambat dalam mempersiapkan suprastruktur atau infrastruktur berupa teknologi .

Saya katakan tadi: aturannya masih minim; KPPU bisa berperan lebih banyak dengan kejelasan tentang aturan mengenai digital ini. Kalau itu memang belum ada. Ya, kami memang akan merasa kerepotan.[]

Redaktur: Andi Nugroho

#KPPU   #kodratwibowo   #persainganusahadigital   #monopoli   #ekonomidigital   #gojek   #tokopedia   #merger   #transformasidigital   #perusahaaninternet

Share:




BACA JUGA
Luncurkan Markas Aceh, Wamen Nezar Dorong Lahirnya Start Up Digital Baru
Wujudkan Visi Indonesia Digital 2045, Pemerintah Dorong Riset Ekonomi Digital
Ekonomi Digital Ciptakan 3,7 Juta Pekerjaan Tambahan pada 2025
Utusan Setjen PBB: Indonesia Berpotensi jadi Episentrum Pengembangan AI Kawasan ASEAN
Kikis Kesenjangan Digital, Indonesia Dorong Pendekatan Inklusif dalam Tata Kelola AI Global