
Ilustrasi
Ilustrasi
Cyberthreat.id – Pemerintah India meminta Twitter untuk menghapus konten yang mengkritik penanganan Covid-19 di negara tersebut.
Dikutip dari Reuters yang diakses Senin (26 April 2021), pemerintah India meminta Twitter untuk menghapus lusinan tweet, termasuk yang dibuat oleh anggota parlemen lokal, yang mengkritik penanganan wabah virus corona di India karena kembali mencapai rekor dunia.
Juru bicara Twitter mengatakan, pihaknya telah membatasi beberapa tweet setelah permintaan hukum yang diajukan oleh pemerintah India. Dalam permintaan hukum pemerintah, tertanggal 23 April dan diungkapkan di Lumen (ebuah proyek Universitas Harvard), ada 21 tweet yang ajukan. Diantaranya adalah tweet dari seorang anggota parlemen bernama Revnath Reddy, seorang menteri di negara bagian Benggala Barat bernama Moloy Ghatak dan seorang pembuat film bernama Avinash Das.
Menurut Twitter, undang-undang yang digunakan dalam permintaan pemerintah India adalah Undang-Undang Teknologi Informasi tahun 2000. Meskipun tidak jelas bagian mana dari undang-undang yang digunakan dalam kasus ini, namun biasanya India menggunakan klausul yang memerintahkan pemblokiran akses publik ke informasi yang bermasalah dalam upaya melindungi kedaulatan dan integritas India, serta menjaga ketertiban umum, antara lain.
“Saat kami menerima permintaan hukum yang sah, kami meninjaunya berdasarkan Peraturan Twitter dan hukum setempat,” ungkap juru bicara Twitter dalam pernyataan yang dikirim melalui email.
Twitter menambahkan, jika memang konten tersebut melanggar aturan Twitter, maka konten tersebut akan dihapus dari layanan. Jika ditetapkan sebagai ilegal di yurisdiksi tertentu, tetapi jika tidak melanggar Aturan Twitter, maka konten tersebut hanya akan dibatasi di India saja.
Twitter juga langsung memberi tahu pemilik akun bahwa jangkauan kontennya akan dibatasi karena Twitter telah menerima perintah hukum yang berkaitan dengan tweet mereka.
Salah satu yang menerima pesan dari Twitter adalah pemilik akun Twitter @FriedrichPieter. Dia menerima dua email pemberitahuan. Pada 24 April, Twitter memberitahu bahwa mereka telah mendapat komplain dari Pemerintah India yang menyebut unggahan Pieter melanggar hukum India. Sehari kemudian, dia mendapat pemberitahuan bahwa Twitter memutuskan untuk membatasi kontennya agar tidak terlihat di India, tetapi masih bisa dilihat di luar India.
Konten yang disoal itu diunggah Pieter pada 20 April lalu. Isinya, foto seorang wanita yang terduduk di jalanan dengan tabung oksigen terletak di jalan dan selangnya tersambung ke mulut wanita itu. Pieter mengomentari foto itu dengan berkata,"Realitas India di bawah rezi Modi. Seharusnya perawatan kesehatan gratis?"
Menurut laporan theprint.in, foto yang diunggah Pieter itu bukanlah foto terkini penanganan Covid-19 di India, melainkan foto dari April 2018. Disebutkan, foto itu diambil ketika wanita itu ditemani anaknya sedang menunggu ambulance untuk membawanya ke rumah sakit.
Sebelum diunggah Pieter, menurut theprint.in, foto itu ternyata sudah duluan viral setelah diunggah oleh akun @aarifshaah sehari sebelumnya yang memberi pengantar: "Ini adalah India sekarang." Namun, saat diakses Cyberthreat.id, di postingan @aarifshaah, foto itu sudah tidak tersedia lagi. Sementara di unggahan Pieter, foto yang sama masih bisa diakses dari Indonesia.
Akun @aarifshaah kemudian juga mengunggah foto pembakaran mayat korban Covid-19 di ibukota India. Kali ini, fotonya berasal dari kantor berita Reuters.
Sebelumnya, dilaporkan Tech Crunch, bahwa tidak hanya Twitter yang mendapatkan permintaan hukum dari India, tetapi juga platform media sosial lainnya. Terlebih India saat ini tengah berada dalam cengkeraman gelombang kedua pandemi yang terus meningkat. Laporan sejumlah media menyebutkan, banyak korban tak tertangani sebagaimana mestinya. Akibatnya, kritik terus meningkat terhadap otoritas negara Perdana Menteri Narendra Modi karena pemerintah dinilai tidak cukup siap menangani krisis.
Surat kabar Amerika The New York Times pada 25 April menurunkan laporan utama tentang parahnya pandemi gelombang kedua yang melanda India. Laporan itu dilengkapi dengan foto mayat-mayat yang dibakar di Timur India. Versi online laporan itu dapat diakses di tautan ini.[]
Editor: Yuswardi A. Suud
Share: