
Peluncuran Indonesia Women of Cybersecurity pada Rabu (21 April 2021)
Peluncuran Indonesia Women of Cybersecurity pada Rabu (21 April 2021)
Cyberthreat.id - Di era digital ini perempuan Indonesia menyadari pentingnya melindungi data pribadi, namun mereka menjadi kelompok paling rentan di internet.
Hal ini disampaikan Direktur Tata Kelola Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo Mariam F Barata dalam acara peluncuran "Indonesia Women of Cybersecurity", yang digelar Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Rabu (21 April 2021).
Mengutip hasil survei Woman Rights Online Representative 2020 yang melakukan penelitian di Indonesia, Mariam mengatakan perempuan di Indonesia merupakan pengguna ponsel pintar terbanyak dibandingkan laki-laki sehingga berpeluang meningkatkan keterampilan digital.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik dan Asosiasi Penyedia Jasa Internet (APJII), pengguna internet di Indonesia juga lebih banyak perempuan dibanding pria, masing-masing 51% dan 50,2%.
Perempuan, kata Mariam mengutip survei itu, memiliki kekhawatiran akan pelindungan data pribadi yang cukup tinggi dibandingkan laki-laki, baik terkait perlindungan pesan pribadinya, data pribadi anggota keluarga, rekam medis, maupun alamat rumah.
"Perempuan memperhatikan privasi data dalam kategori tersebut" ujar Mariam.
Hanya saja di sisi lain, menurut Mariam, posisi perempuan menjadi paling rentan di internet, khususnya penyalahgunaan data.
"Data online yang tidak diatur menjadi ancaman bagi semua konsumen terutama wanita karena wanita melakukan sebagian besar kegiatannya belanja dan kegiatannya sharing di pertemuan online,dan merekalah yang paling rentan," ujarnya mengutip pernyataan Profesor Ann Bartow dari University of New Hampshire School of Law.
Bahaya internet dan ancaman data pribadi terhadap perempuan, kata Mariam, antara lain yang terlihat di permukaan yakni penyalahgunaan data pribadi, kebocoran data atau jual beli data pribadi. Tetapi, layaknya gunung es, di bawahnya itu banyak kasus yang menyerang perempuan.
"Penelitian menemukan mereka [perempuan] juga kurang menyadari adanya potensi ancaman yang ditimbulkan dari teknologi atau datanya yang disebarkan,wanita cenderung lebih menghadapi kasus seperti fetisisasi, pelecehan dan penghinaan online, ancaman kekerasan online, perdagangan wanita online," tuturnya.
Inilah mengapa perempuan, kata Maria, perlu melindungi data pribadinya, dengan lebih hati-hati dalam membagikannya.
Sementara itu, Direktur Identifikasi Kerentanan dan Penilaian Risiko Infrastruktur Informasi Kritikal Nasional, Intan Rahayu mengatakan serangan siber secara umumnya ada tujuh: phishing (berkaitan pencurian data melalui situs web atau email palsu), ransomware (mengunci file dan memeras korban), penyadapan dari data e-commerce, layanan kejahatan yang disewakan (crimeware as-a-services), penipuan online, crypto jacking (malware penambang mata uang kripto yang ditanamkan di komputer korban), dan business email compromised (BEC) atau penipuan berbasis email.
CEO PT Xynexis International, Eva Noor menilai untuk melindungi diri dari risiko ancaman siber — mengingat ancaman akan terus ada, itu bisa dimulai dari individu atau perempuan itu sendiri.
"Kita [perempuan] harus menanyakan diri kita sendiri, risiko apa yang akan terpapar nantinya, jadi kita sudah bisa memprofile risiko apa saja. Kalau kita sudah melakukan hal tersebut, kita akan tahu apa yang akan dimitigasi," kata Eva.
Eva berharap peluncuran Indonesia Women Cyber Security dapat membantu meningkatkan kesadaran akan keamanan siber serta membentuk talenta keamanan siber yang menurutnya masih sedikit. Selain dari IWCS, Eva juga menilai perlunya edukasi sejak dini kepada anak-anak di mana mungkin bisa dimulai dari guru di pendidikan dasar.
"Kalau kita coba berikan sosialisasi ke tingkat pendidikan tinggi saya rasa itu sudah terlambat sih, jadi lebih bagus kita tarik ke pendidikan dasar sudah kita berikan pemahaman-pemahaman bahwa risiko keamanan siber yang ada, risiko kita berinteraksi di internet dan lain-lainnya,” ujarnya.
Kepala Departemen Hukum TIK-KI, Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Shinta Dewi sepakat dengan Eva terkait pemahaman risiko dimulai dari diri sendiri.
Menurut Shinta, mengutip hasil survei yang dipaparkan Mariam, bahwa perempuan mempunyai tingkat kesadaran yang cukup tinggi untuk melindungi datanya, meski perempuan itu menjadi korban dari revenge porn, doxxing, serta cyberbullying.
Karena perempuan lumayan memiliki kesadaran melindungi data pribadinya, Shinta menilai perempuan dapat mengambil peran juga menyadarkan lingkungan sekitarnya.
"Perempuan memiliki peran demikian penting untuk membangun kesadaran atas perlindungan data pribadi baik dalam keluarga maupun dalam profesinya," ujar Shinta. []
Editor: Yuswardi A. Suud
Share: