IND | ENG
Peneliti Kenalkan Risiko Teknologi Pengenalan Emosi lewat Game

Tangkapan layar situs web emojify.info yang mengenalkan teknologi pengenalan emosi. | Foto: Cyberthreat.id/Andi Nugroho

Peneliti Kenalkan Risiko Teknologi Pengenalan Emosi lewat Game
Andi Nugroho Diposting : Senin, 05 April 2021 - 11:09 WIB

Cyberthreat.id –  Para peneliti masih terus mendalami teknologi pengenalan wajah (facial recognition/FR) di tengah perdebatan dari hasil akurasi teknologi tersebut.

Salah satu uji coba teknologi FR baru dikeluarkan oleh peneliti Leverhulme Centre for the Future of Intelligence dan Centre for the Study of Existential Risk dari Universitas Cambridge, Inggris.

Mereka menciptakan sebuah aplikasi permainan FR berbasis web. Nama situs webnya “emojify.info”.

Berbeda dengan teknologi FR lainnya, teknologi di balik permainan itu ialah menguji coba sistem pengenalan emosi melalui kamera komputer.

“Ini adalah bentuk pengenalan wajah, tapi lebih jauh lagi tak sekadar mengidentifikasi orang, tapi juga diklaim membaca emosi kita, perasaan kita dari wajah,” kata Kepala Proyek Penelitian Dr Alexa Hagerty, seperti dikutip dari The Guardian, diakses Senin (5 April 2021).

Alexa tak menutup mata bahwa teknologi FR disorot oleh kelompok pendukung hak asasi manusia (HAM) karena kekhawatiran pelanggaran privasi dan bias rasial.

Oleh karenanya, ia mengusulkan agar teknologi pengenalan emosi diperkenalkan yang barangkali memiliki manfaat potensial, selain itu juga membuka kesadaran bagi masyarakat tentang teknologi FR.

Ia mengakui, penggunaan teknologi tersebut harus dipertimbangkan dari kekhawatiran akurasi, bias rasial, serta apakah teknologi itu tepat untuk pekerjaan tertentu.

“Kita perlu melakukan diskusi dan pertimbangan publik yang lebih luas tentang teknologi ini,” kata dia.

Menurut dia, situs web yang dipakai tersebut diklaim tidak mengumpulkan data pribadi dan semua foto disimpan di perangkat penguna.

Dalam satu permainan, misalnya, pengguna diminta untuk memberikan serangkaian wajah emosi palsu dan melihat apakah sistem tertipu.

Alexa berharap penelitian yang didanai oleh National Endowment for Science, Technology, and the Arts (Nesta) akan meningkatkan kesadaran akan teknologi FR dan mendorong diskusi seputar penggunaannya.

“Saya pikir kita mulai menyadari bahwa kita sebenarnya bukan 'pengguna' teknologi, kita adalah warga dunia yang dibentuk secara mendalam oleh teknologi. Jadi, kita perlu memiliki masukan demokratis dari masyarakat terhadap teknologi ini seperti hal-hal penting lainnya ddi masyarakat,” katanya.

Sementara itu, aktivis HAM masih mengkhawatirkan teknologi pengenalan emosi. “Karena tidak hanya didasarkan pada sains yang diskriminatif dan terdiskreditkan, penggunaan teknologi pengenalan emosi juga pada dasarnya tidak sesuai dengan hak asasi manusia,” ujar Vidushi Marda, aktivis HAM dari Article 19 yang berbasis di Inggris.[]

#AI   #kecerdasanbuatan   #algoritmaAI   #facialrecognition   #pengenalanwajah   #universitascambridge

Share:




BACA JUGA
Demokratisasi AI dan Privasi
Indonesia Dorong Terapkan Tata Kelola AI yang Adil dan Inklusif
Wamenkominfo Apresiasi Kolaborasi Tingkatkan Kapasitas Talenta AI Aceh
Microsoft Merilis PyRIT - Alat Red Teaming untuk AI Generatif
Utusan Setjen PBB: Indonesia Berpotensi jadi Episentrum Pengembangan AI Kawasan ASEAN