
Robert Hanningan | Foto: internetpolicy.mit.ed
Robert Hanningan | Foto: internetpolicy.mit.ed
Cyberthreat.id – Mantan kepala badan intelijen Inggris Raya (Government Communicationns Headquarters/GCHQ), Robert Hannigan, mengatakan, sedikit bukti bahwa kecerdasan buatan (AI) dipakai untuk kejahatan siber atau terorisme.
Ia mengatakan hal itu saat menjadi pembicara inti dengan topik “mitos dan kata kunci di seputar AI dalam keamanan siber” yang diadakan oleh London Office For Rapid Cybersecurity Advancement (LORCA).
Menurut dia, meski AI telah mengubah banyak aspek kehidupan modern, hal itu belum membuktikan semua manfaatnya bagi peretas yang mendapat dukungan negara.
“Industri siber lebih banyak cerita menakutkan dan saya telah banyak membaca cerita-cerita geng kriminal, bahkan teroris yang menggunakan AI, dan jujur saja, saya hampir tidak mleihat bukti untuk ini sama sekali, dengan beberapa pengecualian,” kata dia, seperti dikutip dari ITPro, Selasa (30 Maret 2021).
Baca:
Namun, menurut dia, teknologi AI kemungkinan akan menjadi bagian dari gudang senjata peretas dalam waktu dekat, tapi untuk saat ini AI hanya memberikan terlalu banyak “risiko”.
Ia mencontohkan, kasus peretasan SolarWinds. Peretasan ini dinilai begitu canggih, tapi tetap saja tak lepas dari tangan fisik peretas.
“Melakukannya dalam skala besar dan bersusah payah melakukan dengan AI, mungkin akan berisiko tinggi bagi mereka,” ujar Hanningan.
Maka dari itu, ia justru meresahkan tentang keamanan AI.
“Data adalah kerentanan yang sangat besar, dan ada banyak studi tentang apa yang disebut data poisoning (manipulasi data), adversarial model (model perlawanan), yang secara mendasar, mengatakan, kita dapat mengelabui mesin agar salah mendiagnosis,” ujar dia.
“Jika Anda seorang penjahat atau bahkan tak sengaja, sangat mungkin untuk melihat bagaimana manipulasi data atau data yang salah dikategorikan dapat menyebabkan mesin melakukan sesuatu yang benar-benar salah, dengan konsekuensi yang sangat serius,” ia menambahkan.[]
Share: