Ilustrasi | blog.malwarebytes.com
Ilustrasi | blog.malwarebytes.com
Jakarta, Cyberthreat.id – Asisten pintar (smart assistant) seperti Siri, Google Assistant, atau Cortana saat ini begitu populer.
Dalam dua tahun terakhir, suara memang sedang menjadi tren di dunia teknologi. Faktanya, 47,3 juta pengguna dewasa di AS mengakses smart speaker. Itu jumlahnya 20 persen dari populasi orang dewasa AS.
Di seluruh dunia, pada 2021 diperkirakan pengguna asisten pintar mencapai 1,8 miliar pengguna. Dengan berkembangnya asisten pintar, ada spekulasi bahwa bantuan digital akan mengubah cara manusia bekerja.
Bahkan, EVP of AI and Research di Microsoft Harry Shum meyakini 20 tahun lagi asisten pintar akan begitu erat dengan keseharian manusia. “Mereka akan seperti alter ego manusia,” demikian seperti dikutip dari Smart Assistants: The Future of Work or Just a Fad?
Asisten pintar sangat bergantung pada kecerdasan buatan (AI). AI adalah kekuatan di balik Natural Language Processing (NLP), yang memungkinkan asisten pintar memahami bahasa manusia.
Tahukah, sebetulnya jejak asisten pintar ini diawali sejak 1961. Kala itu, perusahaan komputer IBM mengenalkan perangkat pengenal suara yang diberi nama Shoebox. Peranti ini bisa mengenali angka (0-9), tanda minus (-), dan tanda plus (+). Ia hanya mengenali 16 kata yang diucapkan melalui mikrofon.
Dari pengenalan suara tersebut, peranti yang berukuran sebesar mesin kasir itu akan mencetaknya di kertas. Demonstrasi itu pertama kali dilakukan pada World’s Fair di Seattle, AS pada 1962 oleh pengembangnya, William C Dersch. Sepuluh tahun setelah uji coba publik, alat tersebut disempurnakan hingga bisa mendeteksi sekitar 1.000 kata.
Pada 1990-an, barulah pertama kali alat pengenal suara dikenalkan kepada konsumen dengan nama Dragon Dictate. Sekarang Dragon Dictate digantikan oleh Dragon NaturallySpeaking.
Sebelum Apple mengenalkan Siri yang bisa diajak ngobrol pada 14 April 2011, Microsoft lebih dulu mengenalkan Clippy pada 1996. Jika pernah menggunakan Windows 97-2003 pasti akan ingat dengan ikon berbentuk klip yang bergerak-gerak di layar komputer.
Clippy seringkali muncul menawarkan bantuan dengan bertanya,”Would you like help?“. Ia kemudian meberikan pilihan “Get help with writing the letter” dan “Just type the letter without help“. Ketika Microsoft mengeluarkan Office XP, Clippy akhirnya dimatikan karena dianggap tak populer dan direspons negatif oleh pengguna.
Sejak keluarnya Siri, sejumlah pengembang seakan-akan berlomba-lomba menyaingi Apple. Google mengeluarkan Google Now pada 2012 dan Microsoft membuat Cortana pada 2013. Amazon, perusahaan raksasa toko online, mengenalkan Alexa dan Amazon Echo yang berbentuk semacam speker aktif. pada 2014.
Pada 2016, Google memperbaiki perantinya yang lebih baik lagi melalui Google Assistant.
Teknologi suara ini juga dikembangkan oleh tiga perusahaan (LG, JBL, dan Lenovo). Mereka pada 2018 merilis smart speaker. Pada tahun lalu, permintaan terhadap peranti smart speaker cukup tinggi. Bahkan, penjualan Amazon Echo dan Google Home di Eropa telah mendekati 6,5 juta unit. Di Asia, China saat ini menjadi pasar asisten pintar terbesar kedua di dunia, merek lokal seperti Baidu dan Alibaba terus melakukan inovasi.
Masuk Perkantoran
Tiga tahun ke depan, asisten pintar diperkirakan akan mulai dipakai di dunia perkantoran. Riset International Data Corporation (IDC) memprediksi sekitar 22 persen organisasi besar di dunia akan memakai produk-produk seperti Amazon Alex, Siri, dan Cortana di tempat kerjanya pada 2021. Sebab, penggunaan asisten pintar bisa menghemat sekitar US$ 1 miliar.
Demikian simpulan dalam laporan “IDC FutureScape: Worldwide Connected Devices 2019 Predictions”. Menurut laporan itu, organisasi akan semakin banyak menggunakan asisten pintar yang lebih umum untuk kepentigan konsumen seperti manajemen e-mail dan help desk. “Hal-hal seperti itu belum dikembangkan,” kata Bryan Ma, Vice President of Client Devices IDC Asia Pacific
Sementara itu, Analis Teknologi IDC Australia dan Selandia Baru, Sean Ashari, mengatakan, pengembang properti saat ini mulai tertarik pada jaringan internet berkecepatan tinggi yang dilengkapi asisten pintar untuk kepentingan rapat. “Asisten pintar akan sangat membantu untuk menjadi notulen rapat,” kata Ashari.
“Jika setengah dari pertemuan itu mengalami kesulitan untuk menjelaskan ide kepada rekanan karena keterbatasan bahasa, kita bisa meminta asisten pintar untuk menerjemahkannya,” Ashari menambahkan.
IDC memprediksi pada 2022, kurang lebih 15 persen perusahaan di Asia Pasifik akan memiliki asisten pintar. Mereka akan mulai memakai teknologi agumented reality atau virtual reality ketimbang komputer, tablet, atau ponsel pintar.
Share: