IND | ENG
Cengkraman Temasek Singapura di Startup Digital Kita, Apa Kabar Kedaulatan Data?

Tangkapan layar sebuah video di situs resmi Temasek Singapura yang menyebut Indonesia tidak efisien

Cengkraman Temasek Singapura di Startup Digital Kita, Apa Kabar Kedaulatan Data?
Yuswardi A. Suud Diposting : Senin, 01 Februari 2021 - 06:00 WIB

Cyberthreat.id - Perusahaan milik negara Singapura Temasek Holdings Limited lewat anak perusahaannya Anderson Investments Pte. Ltd sejak 28 Januari 2021 lalu resmi mengempit 19 persen saham PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA), pengelola Hypermat milik Group Lippo. Nilainya setara Rp 4 triliun.

Seperti diketahui, seluruh saham Temasek dipegang oleh Departemen Keuangan selaku eksekutif yang mewakili negara Singapura.

Hypermart sendiri kini sedang rajin-rajinnya memperluas pasar di lapak digital seperti bekerja sama dengan pasar online Tokopedia dan Shoopee. Target kerja sama itu, memanfatkan pengguna kedua platform e-commerce.

Seperti diumumkan dalam siaran pers tertanggal 10 Desember 2020 lalu, MPPA menyebut Tokopedia memiliki 100 juta pengguna aktif bulan di tengah pandemi Covid-19. Sementara kerja sama dengan Shopee yang memiliki sekitar  93 juta  pengguna bulanan hingga kuartal kedua 2020, diumumkan pada 14 September 2020 lalu.

Dua e-commerce terbesar di Indonesia itu sebagian sahamnya juga dipegang oleh Temasek. CEO Tokopedia William Tanuwijaya secara resmi mengumumkan kepemilikan Tokopedia di perusahaan yang didirikannya itu pada 16 November lalu. William tak menyebut berapa dana yang diterima. Namun, sebulan sebelumnya, media ekonomi Bloomberg menyebut Temasek dan Google menyuntikkan dana sebesar US$350 juta ke salah satu Unicorn Indonesia itu. Sebelumnya, sejumlah raksasa teknologi seperti Alibaba Grup dan SoftBank juga telah berinvestasi di sana.

Sementara Shopee yang berpusat di Singapura, dikelola oleh Garena Singapura, sebagian besar pendanaannya ditopang oleh SeaTown Holdings Internasional yang juga anak perusahaan Temasek.

Mengutip data App Annie, pada Mei 2020 Sea Group mengatakan, "Shopee menjadi situs belanja peringkat pertama di Indonesia dengan rata-rata pengguna aktif bulanan, unduhan, dan total waktu yang dihabiskan (Android) dalam kategori belanja."

Selain dua raksasa e-commerce itu, Temasek juga mencatat kepemilikan 35 persen saham di Telkomsel lewat Singtel. Sementara Telkomsel, pada November 2020 lalu, mengumumkan investasi di Gojek senilai Rp2,1 triliun. (Lihat: Berkaca dari WhatsApp, Bisakah Gojek Berbagi Data Pengguna dengan Telkomsel, Tokopedia, dan Bank Jago?)

Gojek sendiri tak lepas dari genggaman tangan Temasek. BUMN investasi Singapura itu berkali-kali disebut sebagai pemegang saham terbesar di Gojek lewat Gamvest Pte Ltd dan Anderson Investment yang baru saja mengempit 19 persen saham di MPPA, pengelola Hypermart.

Di luar dari perusahaan teknologi berbasis internet ini, Temasek lewat East Ventures  juga masuk ke Warung Pintar, usaha kios level UMKM yang menjual aneka kebutuhan sehari-hari termasuk koneksi internet.

East Ventures diketahui juga masuk ke Bukalapak, Traveloka, Ruangguru, hingga gerai kopi Fore. East Ventures mengklaim telah berkontribusi 45 persen terhadap ekonomi digital Indonesia.

"East Ventures berfokus di Indonesia karena negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara" kata Managing Partner East Ventures Willson Cuaca dalam sebuah video yang dimuat di situs resmi Temasek.

Jejak Temasek dalam membangun kerajaan bisnisnya di Indonesia memang tak lepas dari potensi ekonomi digital negeri ini. Dalam sebuah video di situs Temasek, disebutkan "Indonesia adalah negara yang tidak efisien." Itu disebut sebagai peluang bisnis untuk meghadirkan solusi digital.

Penelitian yang dilakukan Temasek bersama Google Asia Pasifik pada 2019 menyebutkan potensi ekonomi digital Indonesia cukup besar.

"Ekonomi internet Indonesia berada di jalur untuk mencapai US$ 130 miliar pada tahun 2025," tulis laporan itu, dikutip dari situs resmi Temasek.

Disebutkan juga, Indonesia adalah ekonomi internet terbesar dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara, dengan 152 juta pengguna internet.

Penelitian lain diumumkan Hootsuite asal Kanada. Dalam laporan berjudul Indonesian Digital Report 2020 menyebutkan ada 338,2 juta koneksi ponsel di Indonesia. Dari jumlah itu, 175,4 juta adalah pengguna internet, dengan penetrasi sebesar 64 persen, sedikit di bawah rata-rata di Asia Tenggara yang sebesar 66 persen.

"Peluang seperti apa yang dihadirkan negara ini bagi calon pemula dan pembuat perubahan?" tulis Temasek di situsnya.

Apa Kabar Kedaulatan Data?
Model bisnis ekonomi digital yang ada saat ini bergantung pada data pengguna. Setidaknya, model itulah yang sedang dijalankan oleh perusahaan-perusahaan raksasa teknologi seperti Google dan Facebook. Mereka diam-diam mengintip apa saja yang diakses orang di internet, lalu mengirimkan konten dan iklan berdasarkan prilakunya di dunia maya.

Bos Apple, Tim Cook, beberapa hari lalu mengkritik model bisnis seperti itu. Karena itu, Apple akan memberi tahu pengguna iPhone aplikasi apa saja yang melacak aktivitas mereka di dunia maya. Selanjutnya, pengguna bisa memilih untuk mengizinkannya atau tidak. (Lihat: Mengapa Bos Apple Kecam Model Bisnis Facebook Berbahaya dan Pantas Dicemooh)

Di Indonesia, Presiden Joko Widodo juga pernah menyinggung soal pentingnya melindungi data pribadi warga Indonesia. Berbicara di DPR RI saat peringatan HUT RI ke-74 pada 16 Agustus 2019, Jokowi mengatakan tak ada kompromi untuk perlindungan data pribadi.

"Kedaulatan data harus diwujudkan. Hak warga negara atas data pribadi harus dilindungi. Regulasinya harus segera disiapkan tidak boleh ada kompromi!" kata Jokowi.

Presiden mengatakan, melindungi data pribadi berarti melindungi kepentingan rakyat. Jokowi menyatakan Indonesia perlu siaga menghadapi ancaman kejahatan siber, termasuk penyalahgunaan data.

"Kita harus siaga menghadapi ancaman kejahatan siber, termasuk kejahatan penyalahgunaan data. Data adalah jenis kekayaan baru bangsa kita, kini data lebih berharga dari minyak. Data is new oil," kata Jokowi.

Masalahnya, selang dua bulan kemudian, pada 10 Oktober 2019, pemerintah malah merevisi PP Nomor 82 Tahun 2012 yang mengatur tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE). Aturan barunya menjadi PP Nomor 71 Tahun 2019.

Dalam revisi itu, pemerintah justru mengizinkan penempatan pusat data di luar negeri, seperti tertuang pada pasal 21 ayat 1 berbunyi,"Penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dapat melakukan pengelolaan, pemrosesan, dan/atau penyimpanan sistem elektronik dan data elektronik di wilayah Indonesia dan/atau di luar wilayah Indonesia".

Sebelum direvisi, pasal itu berbunyi, "Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan format dan masa retensi yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan".

Perubahan itu sempat disorot antara lain oleh anggota Komisi I DPR RI Sukamta. Menurutnya, perubahanan itu berlawanan dengan kedaulatan data Indonesia yang disampaikan Jokowi sebelumnya.

"Berarti pak pertanyaannya kan begini, presiden ini bicara tidak tahu yang dibicarakan, atau tanda tangan peraturan tidak tahu yang ditandatangani, atau sebetulnya maunya pak presiden diterjemahkan begitu," kata Sukamta saat Rapat Dengar Pendapat dengan Menkominfo Johnny G Plate di Gedung DPR, Jakarta.

"Bahkan beliau (Jokowi) menekankan bahwa data-data penduduk Indonesia bukan hanya data strategis pemerintah, termasuk data konsumsi, data pola hidup bangsa Indonesia. Itu tidak boleh jatuh ke tangan asing," tambah Sukamta.

Perubahan aturan itu disinyalir lantaran hasil lobi perusahaan-perusahaan luar yang berbisnis di Indonesia, termasuk Temasek Singapura yang telah mencengkramkan kukunya di berbagai lini bisnis digital di Indonesia.


Tangkapan layar publikasi situs Temasek yang menyebutkan "Layanan Keuangan Digital" dapat memenuhi kebutuhan dengan penyediaan teknologi dan data".

Pratama Persadha, Pengamat Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) sekaligus Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC juga kecewa karena pengesahan PP PSTE sangat kontradiktif dengan isi pidato Jokowi soal kedaulatan data.

"PP PSTE yang baru memang kontradiktif dengan keinginan untuk membangun pusat data yang reliable di tanah air. Apalagi boleh untuk memakai pusat data di luar negeri bagi para pelaku bisnis di tanah air," kata Pratama saat itu seperti dilansir CNN Indonesia.

Menurut Pratama, lonjakan pemakai internet di Indonesia harusnya menjadi kesempatan baik untuk memperkuat bisnis dan infrastruktur pusat data di tanah air.

"Namun dengan PP PSTE yang baru membuat semua data bebas disimpan keluar negeri. Mungkin maksud pemerintah adalah agar adopsi teknologi bisa berjalan cepat. Namun perlu dipikirkan jangka panjangnya bila membahayakan kedaulatan informasi," kata Pratama.

Setahun berlalu, diskusi soal itu meredup. Pasal yang dipersoalkan itu tak juga diubah.

Menteri BUMN Erick Thahir di awal menjabat juga pernah menyinggung soal kedaulatan data. Saat itu, seperti dilansir dari Kompas.com, Erick "menggerutu" soal Telkom yang dinilainya tidak inovatif.

Dia membandingkan bisnis Telkom dengan anak usahanya, Telkomsel yang lebih menguntungkan dari sisi pendapatan bisnis. Di mana, 70 persen laba Telkom disumbang oleh Telkomsel.

Menurut Erick, seharusnya Telkom berinovasi dengan menggarap bisnis di ranah big data. Sebab, bisnis itu masih dikuasai perusahaan asing.

"Makanya kita mau Telkom berubah ke arah salah satunya ke database, big data, cloud, masa cloud-nya dipegang Alicloud. Masa database kita diambil negara lain,” kata Erick.

Erick boleh saja menggerutu. Tapi di ruang siber, raksasa-raksasa teknologi terus berlomba mengumpulkan data warga Indonesia dengan berbagai cara untuk dijadikan target pasar. Seperti kata Presiden Jokowi, mereka paham benar: data is new oil.[]

#gojek   #bankjago   #tokopedia   #telkomsel   #datapribadi   #ruupdp   #temasek   #hypermart   #singapura

Share:




BACA JUGA
Pemerintah Dorong Industri Pusat Data Indonesia Go Global
Google Penuhi Gugatan Privasi Rp77,6 Triliun Atas Pelacakan Pengguna dalam Icognito Mode
Serahkan Anugerah KIP, Wapres Soroti Kebocoran Data dan Pemerataan Layanan
Bawaslu Minta KPU Segera Klarifikasi Kebocoran Data, Kominfo Ingatkan Wajib Lapor 3x24 Jam
BSSN Berikan Literasi Keamanan Siber Terhadap Ancaman Data Pribadi di Indonesia