
Ilustrasi via the-parallax.com
Ilustrasi via the-parallax.com
Cyberthreat.id – Pakar keamanan siber dari Vaksincom Alfons Tanujaya mengungkapkan alasan di balik kebijakan privasi WhatsApp yang memaksa pengguna menyetujui perusahaan itu berbagi data penggunanya dengan perusahaan di bawah naungan Facebook, termasuk Instagram.
Menurut Alfons, informasi yang dikumpulkan dan dibagikan itu merupakan metadata, terkait dengan informasi dasar perangkat ponsel dan informasi dasar dari pengguna. Informasi perangkat bisa mengenai detail perangkat yang digunakan, merek, tipe, memori, sistem operasi yang Anda gunakan, informasi peramban, Detail IP dan ISP pengguna, jaringan layanan seluler yang digunakan, nomor telepon, dan pengidentifikasi perangkat.
Sedangkan informasi dasar pengguna di antaranya siapa yang Anda kenal, siapa yang dikirimi pesan, kapan Anda berkirim pesan, seberapa sering berkomunikasi dengan seseorang atau grup, hingga lokasi ketika sedang melakukan chat atau sedang berbagi lokasi.
“Dari informasi metadata perangkat Whatsapp kemudian Facebook group akan mengolah, mengarahkan iklan dan memberikan kepada perusahaan yang beriklan, seperti iklan HP baru yang sedang diluncurkan, iklan organisasi amal yang mungkin anda minati, ISP atau penyedia layanan seluler saingan yang ingin memperluas pasar dan mencari pelanggan baru,” ungkap Alfons dalam keterangan yang diterima Cyberthreat.id, Senin (18 Januari 2021).
Dengan kata lain, WhatsApp dapat menjadikan metadata itu sebagai mesin penghasil uang.
Menurut Alfons, informasi metadata ini sangatlah berharga, karena dari informasi metadata pengguna Whatsapp dapat mengetahui pola komunikasi anda tanpa perlu mengetahui isi komunikasi anda. Whatsapp dapat mengetahui siapa saja yang sering anda kontak, kapan dan seberapa intens.
Alfons mencontohkan, jika pengguna secara intens berkomunikasi melalui Whatsapp dengan seseorang, sekalipun isi komunikasi terenkripsi, metadata dalam jangka panjang akan menunjukkan tingkat hubungan komunikasi seseorang. Karena pola komunikasi dengan keluarga, teman, teman dekat dan “teman dekat” memiliki pola tersendiri yang tidak bisa dihindari dan akan terdeteksi dengan tingkat akurasi yang sangat tinggi jika memiliki metadata dalam jangka panjang.
“Whatsapp juga dapat mengetahui profil diri anda dari group yang anda ikuti, apa minat anda, siapa teman anda. Apakah anda senang memasak atau hobi otomotif. Apakah anda senang dengan politik dan kemana afiliasi politik anda,” katanya.
Menurut Alfons pada prinsipnya perusahaan internet yang manapun akan melakukan pola yang sama. Siapapun yang memiliki akses ke pasar dan menguasai pangsa pasar terbesar cenderung akan melakukan aksi monopolistik, kecuali ada pihak yang lebih berkuasa mengontrol. Prinsip kerja perusahaan internet sangat simpel, ciptakan produk baru, disrupsi pasar gemuk yang ada. Kalahkan kompetitor dengan berbagai macam cara, seperti jual produk di bawah modal, adu kuat bakar uang sampai semua kompetitor menyerah.
“Kunci menghadapi masalah ini adalah peran pemerintah yang kuat melindungi konsumen dan konsumen secara sadar berusaha mencegah pasar menjadi monopolistik, harusnya pemerintah (Kominfo, Depkeu) jeli menangkap peluang untuk mendapatkan pajak dari iklan yang dinikmati oleh perusahaan internet. GDPR yang diterapkan oleh Uni Eropa mungkin bisa menjadi satu contoh peran regulator dalam menghadapi perusahaan internet.”
Berkaitan dengan hal tersebut, Alfons menyarankan masyarakat untuk menggunakan Telegram, Line atau Signal.
Saran itu bukan karena karena lebih aman atau tidak mengeksploitasi data penggunanya karena pada prinsipnya semua penguasa pasar akan melakukan hal yang sama karena ada biaya besar pengadaan layanan (bandwidth, server etc) yang harus mereka tanggung.
“Alasan utamanya adalah supaya tidak ada penguasa pasar yang terlalu dominan sehingga mampu melakukan tindakan arogan yang cenderung monopolistik, konsumen diminta memilih setuju atau tidak usah pakai aplikasinya tanpa memberikan pilihan lain," kata Alfons.
Terkait Upaya Jadikan WhatsApp Mesin Uang
Penjelasan Alfons ini, mengingatkan pada pengumuman Faebook pada Oktober 2020 lalu. Saat itu, WhatsApp mengumumkan upaya barunya untuk mencari duit.
Saat itu, seperti dilansir dari Reuters, WhatsApp mengatakan mereka akan mulai menawarkan pembelian dalam aplikasi melalui Toko Facebook dan akan menawarkan kepada perusahaan yang menggunakan alat perpesanan layanan pelanggannya kemampuan untuk menyimpan pesan-pesan itu di server Facebook. Karena itulah, WhatsApp butuh persetujuan pengguna untuk menyimpan datanya di server Facebook. Tanpa itu, WhatsApp bisa digugat lantaran aturan perlindungan data pribadi di banyak negara membutuhkan persetujuan dari pengguna jika datanya dibagikan ke perusahaan lain.
Chief Operating Officer WhatApp Matt Idema mengatakan fitur hosting akan dirilis tahun 2021. Hosting menawarkan perusahaan yang menggunakan tools perpesanan costumer service kemampuan untuk menyimpan perpesanan mereka di Facebook Server.
Untuk layanan itu, WhatsApp akan mengenakan biaya atau fee bagi perusahaan yang menggunakan layanan itu.
"WhatsApp akan menawarkan layanan hosting gratis untuk mencoba menarik pelanggan baru dan selanjutnya akan mengenakan biaya 0,5 sen hingga 9 sen per pesan yang dikirim," ungkap Matt Idama.
Matt Idama mengungkapkan saat ini ada 50 juta lebih pengguna WhatsApp Business dan lebih dari 175 juta orang berinteraksi dengan WhatsApp Business setiap harinya.
"Pendapatannya kecil hari ini, dibandingkan dengan Facebook pada umumnya, tapi menurut kami peluangnya cukup besar," katanya.
Matt Idema mengatakan obrolan dalam WhatsApp Business yang menggunakan layanan hosting disimpan di tempat lain dan tidak dilindungi oleh end-to-end encryption. Namun Facebook berjanji tidak akan menggunakan data pesan yang dihosting di servernya untuk tujuan bisnis lain.
Iklan WhatsApp yang diunggah di Youtube (yang kolom komentarnya dinonaktifkan) pada Oktober 2020 lalu, bisa memberi gambaran bagaimana layanan baru WhatsApp itu bekerja. []
Editor: Yuswardi A. Suud
Share: