
Ilustrasi
Ilustrasi
Cyberthreat.id - Pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei telah memperingatkan 'pembalasan' atas kematian Jenderal Qassim Soleimani, pemimpin Pasukan Quds elit Iran. Seperti diketahui, Soleimani terbunuh oleh serangan udara Amerika Serikat menggunakan drone di Baghdad, Irak, Jumat (3 Januari 2020).
Itu adalah ancaman yang tidak bisa dianggap enteng. Dilansir Telegraph, meskipun militer tradisional (bersenjata) Iran dikalahkan oleh AS, negara itu telah muncul sebagai kekuatan baru dalam perang siber dengan menggunakan taktik yang tidak konvensional untuk menargetkan musuhnya.
Iran mengklaim telah memiliki lebih dari 100 ribu sukarelawan yang terlatih di dunia maya/siber. Meskipun para ahli menjelaskan bahwa jumlah itu sangat berlebihan, kapasitas Iran dalam perang siber tetap menjadi ancaman utama bagi AS.
Kemampuan Iran dalam Serangan Siber
Iran terus menerus dan secara masif membangun persenjataan sibernya, baik dari SDM ataupun sistemnya. Berkembangnya Iran dalam ranah siber ini sejak diluncurkannya "The Cyber Defense Command" pada November 2010. Komando tersebut didirikan akibat dari serangan Stuxnet terhadap fasilitas nuklir di Natanz, Iran, Juni 2010.
Sebelumnya, Iran mengklaim telah melatih 120 ribu sukarelawan dalam perang siber, yang dipimpin oleh organisasi parmiliter Iran, yaitu Basij. Iran juga bergantung pada penjahat siber, termasuk 'Iranian Cyber Army' yang telah berjanji kesetian kepada Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei.
Sejumlah serangan siber yang dilakukan oleh Iran itu dampaknya bisa mengakibatkan kehancuran atau kerugian yang besar. Diwartakan Telegraph, sejumlah serangan siber terhadap lawan Internasional telah diluncurkan, diantaranya:
1. Tahun 2014, di tengah konflik Israel-Gaza yang meningkat. Iran melancarkan serangan terhadap situs-situs sipil Israel. Sebagian besar serangan itu merupakan serangan Distributed Deniel of Service (DDoS) sehingga membanjiri situs web di Israel. Pasukan AS mengaitkan serangan tersebut dengan peretasan yang dilakukan Iran.
2. Serangan serupa pada tahun 2015, terjadi di setengah provinsi Turki akibatnya terjadi pemadaman selama lebih dari 12 jam. Diduga disebabkan oleh pelanggaran jaringan energi. Itu membuat banyak sistem transportasi dan rumah sakit negara Turki terhenti. Serangan itu dianggap sebagai bentuk pembalasan terhadap langkah politik dari Turki untuk mendukung Arab Saudi terhadap gerakan milisi Houthi yang didukung Iran.
3. Tahun 2018, AS menuduh sembilan orang dari Iran telah melakukan kampanye pencurian siber secara besar-besaran atas nama Islamic Revolutionary Guard Corps (IRGC) dengan menargetkan lebih dari 140 universitas AS, departemen pemerintahan hingga PBB.
Iran memang lihai dalam menggunakan teknik serangan DDoS. Di tahun 2011 dan 2013 saja, peretas dilaporkan bekerja atas nama Iran dan menargetkan sektor keuangan AS untuk menyabotase bank-bank AS dengan serangan DDoS.
AS Dalam Perang Siber
Director Cybersecurity and Infrastructure Security Agency (CISA), Christopher Krebs menyadari akan ancaman yang dilakukan oleh Iran. Untuk itu, ia telah berupaya lebih keras untuk menjaga pertahanan siber AS.
"Kami akan terus bekerja dengan komunitas intelijen dan mitra cybersecurity kami untuk memantau aktivitas siber Iran, dengan berbagi informasi dan mengambil langkah-langkah untuk menjaga keamanan Amerika dan sekutu kami," kata Krebs seperti dikutip Telegraph, Jumat (3 Januari 2020).
Selain itu, NATO Cooperative Cyber Defence Center of Excellence (CCDCE), membantu kerja sama antara negara-negara anggota untuk meningkatkan pertahanan dunia maya/siber terhadap serangan jahat. Terutama ini dilakukan melalui program 'Locked Shields' yang merupakan sebuah simulasi perang siber yang dikembangkan untuk membantu merumuskan respon yang lebih baik terhadap serangan siber.
Redaktur: Arif Rahman
Share: