IND | ENG
Menengok Isi ‘Rumah’ Data-data di Timur Jakarta

Gedung pusat data JK5 milik DCI Indonesia di Cibitung, Bekasi, Jawa Barat. | Foto: Arsip DCI Indonesia

Menengok Isi ‘Rumah’ Data-data di Timur Jakarta
Tenri Gobel Diposting : Jumat, 28 Mei 2021 - 10:08 WIB

Cyberthreat.id – Pernah berkunjung ke pusat data (data center)? Jika belum, mari saya antar.

Saya bersama sekitar sembilan rekan wartawan dari beberapa media berkunjung ke pusat data milik PT Data Center Indonesia (DCI) Tbk. Kebetulan hari ini, Kamis (27 Mei 2021), mereka meresmikan gedung baru di Cibitung, Bekasi, Jawa Barat--40 kilometer ke arah timur Jakarta

Di lahan seluas 8,5 hektare dengan dukungan listrik 300 Megawatt (MW), DCI Indonesia memiliki empat pusat data—seluruhnya diberi kode JK atau Jakarta—yaitu JK1, JK2, JK3, dan JK5 (baru selesai dibangun tahun ini). Saya mengunjungi JK2 dan JK5.

JK2 memiliki dukungan listrik sebesar 7 MW, sedangkan JK5 sebesar 15 MW. Untuk keseluruhan pusat data, DCI sebagai “pusat data colocation”—merujuk pada penyedia pusat data yang hanya memberikan akses fisik atau rak server bagi pelanggan—memiliki dukungan listrik 37 MW.

Begitu tiba di areal DCI Indonesia, saya memasuki sebuah gedung biasa. Saya diminta menitipkan kartu identitas yang diganti dengan kartu akses berwarna putih (pengunjung biasa) dan isi tas pun diperiksa.

Gedung tersebut dipakai sebagai perkantoran yang terpisah dari pusat data. Perbedaan gedung kantor dan pusat data terletak dari sisi keamanan dan ketahanan dari gempa, ketahanan dari berat barang.

CEO DCI Toto Sugiri mengatakan gedung pusat data memiliki ketahanan dari berat barang dua ton per meter persegi, sedangkan gedung biasa cuman 300 kilogram per meter persegi. Selain itu, pusat data tidak memiliki jendela berbeda dengan gedung biasa.

"Data center enggak ada jendela, karena, kalau ada jendela, panasnya jadi makin banyak. Jadi, beton saja sekuat mungkin," ujar Toto kepada saya.

Untuk menuju ke gedung yang berisikan pusat data, wartawan dibagi ke dalam dua grup. Saya bersama lima rekan wartawa diajak untuk memakai rompi keamanan dan helm.

Selanjutnya saya melangkahkan kaki ke sebuah ruangan pengenalan; masih dalam gedung kantoran. Di ruangan ini, terdapat televisi dan satu meja yang kanan-kirinya terdapat semacam loker penyimpanan. DCI memutar sebuah video pengenalan serta aturan yang berlaku ketika ingin berkunjung ke ruangan pusat data atau server.

Dari video itu, ada banyak peraturan, di antaranya dilarang bawa makanan dan minuman, dilarang bawa ponsel dan sejenisnya yang bisa merekam atau mengambil gambar. Ruangan video pengenalan itu bersebelahan dengan ruangan Security Operation Center (SOC) umum—di sinilah petugas memonitor keamanan fisik dari pusat data.

Di ruangan SOC, ada banyak layar lebar yang berjajar berdampingan hampir memenuhi dinding dan berhadapan dengan meja kerja penuh komputer. Saat itu ada dua karyawan yang bertugas, suntuk menatap layar-layar yang lebar itu.

SOC itu semacam tim insiden respons, di mana alert atau peringatan akan masuk ke SOC dan karyawan segera menanggapinya. Karyawan harus memiliki daya gerak cepat untuk merespons adanya peringatan.

"Software kami sudah mendeteksi percobaan masuk (akses ilegal/atau hal berbahaya lainnya), lalu dikasih alert ke karyawan," ujar Toto kepada wartawan.

Selanjutnya, saya berada di gedung pusat data JK2, tak jauh dari gedung kantor, hanya berjalan kaki sekitar dua menit. Saat memasuki JK2, ada tiga lapisan keamanan yang perlu dilewati hingga pintu bisa terbuka.

Saat pintu terbuka pun, saya tidak langsung memasuki ruangan server, tetapi menemui satpam untuk pengecekan badan. Lalu, ada sekitar lima pintu yang perlu dilewati dengan lapisan keamanan seperti fingerprint, PIN, dan kartu akses yang perlu dilakukan agar pintu terbuka.

Toto mengatakan DCI memberikan jaminan keamanan secara fisik. Meski ketat, pelanggan yang memakai pusat datanya bisa keluar masuk atau mengakses server-nya 24 jam setiap hari. Saat berkunjung tersebut, saya melihat sejumlah pelanggan DCI yang sedang memeriksa server-nya.

Usai dicek satpam, saya disambut di ruangan pertama di lantai pertama JK2 yakni SOC ruang server. Ini berbeda dengan SOC umum yang berada di gedung kantor. SOC ruang server ini memiliki lebih banyak lagi layar lebar disertai karyawan yang lebih banyak.

Di ruangan tersebut harus terjaga betul kelembapan atau berkaitan dengan suhu hingga hal-hal membahayakan lainnya. Untuk mendeteksi adanya percikan air, DCI memasang semacam kabel hijau yang kemudian akan menimbulkan alert adanya air yang mengalir di ruang server. Lokasi kamar mandi/toilet hanya ada di lantai satu atau dekat satpam.

Toto mengtakan, karyawan yang bertugas di SOC, tak hanya dipilih yang responnya cepat, tapi juga memiliki fisik kuat. Terlebih, peringatan seringkali berbunyi. DCI pun sepekan sekali mengadakan simulasi untuk mengetahui berapa lama tim merespons ketika alert berbunyi.

Peringatan itu akan muncul di monitor disertai tulisan ukuran suhu ruangan dari sensor-sensor yang tertempel di rak server. DCI menjelaskan suhu rata-rata yang diatur untuk ruang server antara 22-23 derajat Celcius (minimal 17 derajat Celcius dan maksimal 27 derajat Celcius).

Usai dari SOC ruang server, saya diajak ke ruangan server. Dalam ruangan ini, terdapat rak-rak yang bersusun dalam jumlah banyak, sensor-sensor di rak server (berfungsi sebagai pendeteksi suhu dan terkoneksi ke ruang SOC), kamera pengawas di setiap sudut dan tengah, serta kabel-kabel yang begitu banyak.

Lantai ruang server yang dikunjungi tersebut merupakan rak server tipe shared dan dedicated, seperti gambar berikut ini.


Sebelah kiri merupakan tipe shared, kanan putih dengan penyekatan disebut tipe dedicated. | Foto: Arsip DCI Indonesia


Rak server tipe shared yaitu berupa tiap satu rak panjang bisa bersebelahan dengan rak server milik perusahaan berbeda, sedangkan tipe dedicated dibuat penyekatan dan tidak langsung bersebelahan dengan rak server milik perusahaan lain.

Tipe dedicated pun berisikan rak-rak server satu perusahaan, berbeda dengan tipe shared, di mana satu rak panjang bisa satu perusahaan saja.

Tipe dedicated pun kebanyakan dipakai oleh perusahaan finansial, beberapa menyekatkan dengan tanpa lubang atau celah sedikit pun. Menurut DCI, regulasi dari pengawas finansial, yakni Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan perusahaan finansial ini membuat server-server-nya “dipenjara tanpa ada lubang sedikit pun”.

Saat mendekat ke rak server-server, angin dari pendingin mulai terasa. Pendinginnya pun datang dari bawah di mana lantainya berupa semacam kisi lantai, di mana banyak lubang sehingga udara dingin naik dari bawah mendinginkan server yang bekerja 24/7.

Listrik yang mendukung seluruh operasional DCI, kata Toto, bukan dari Perusahaan Listri Negara, melainkan PT Cikarang Listrindo. Sementara, jaringan komputernya DCI memakai layanan penyedia jasa internet (ISP) Indonet.

Selain listrik yang didukung oleh pihak ketiga swasta, Toto menjelaskan perusahaan memiliki tenaga cadangan berupa UPS yang dipakai sebagai pemulihan ketika listrik dari Cikarang padam. UPS berada di JK5.

Saat berada di JK5, ruang server-nya berbeda dengan JK2 yang memiliki server tipe dedicated dan shared. Satu lantai pada JK5 disewa oleh satu perusahaan. Lantas apa yang membedakan dengan satu lantai penuh, dedicated, atau shared?

Toto menjelaskan bahwa sebenarnya dari sisi keamanan tidak ada bedanya. Perusahaan menerapkan lapisan keamanan fisik berlapis. Perbedaannya terletak pada Service Level Agreement (SLA) terhadap dedicated, shared, dan selantai penuhnya.

Sejak beroperasi 2013, DCI mengklaim memiliki waktu downtime selama lima menit, sehingga mendapatkan sertifikasi tertinggi yakni Tier IV--pertama di Asia Tenggara--dari Uptime Institute. Sebagai gambaran, yang dimaksud downtime lima menit yaitu hanya dalam lima menit server tidak bisa diakses.

Pelanggan-pelanggan yang menaruh rak server atau semacam menyewa rumah untuk data-datanya di DCI seperti perusahaan multinasional, perbankan, penyedia cloud, juga marketplace populer di Indonesia. Bagaimana dengan lembaga pemerintah? Toto mengatakan, DCI tidak bekerja sama dengan lembaga pemerintah.

Pemilihan lokasi pusat data di Cibitung, kata Toto, karena pertimbangan keamanan dari gempa bumi serta lokasi jauh dari jalan raya. DCI mengklaim memiliki ketahanan gempa sebesar 8 SR.

Toto menegaskan sebagai pusat data colocotion, maka jaminan keamanannya dari segi fisik perlu diperhatikan, lalu menjaga UPS agar tidak ada yang mematikannya dari jarak jauh karena serangan siber, serta keamanan jaringan internal agar data nasabah tidak bocor.


Peresmian gedung pusat data baru milik DCI Indonesia, Kamis (27 Mei 2021). | Foto: Cyberthreat.id/Tenri Gobel


Memproteksi serangan siber

Untuk mengantisipasi serangan siber, Direktur Operasional DCI, Marco, menjelaskan dua proteksi yang dilakukan perusahaan yakni aktif proteksi dan analisis, lalu melakukan penetration testing setiap tahun.

Dalam proses aktif proteksi, timnya menganalisis semua koneksi ke DCI. "Analisis koneksi dari mana, IP dari mana, negara mana, dan tim kami bisa lihat: ‘oh ini threat , dia bisa setop," ujar Marco.

Kedua, penetration testing. Marco mengatakan setiap tahun ada simulasi DCI diretas. "Ada perusahaan lain coba simulasi attack dan kami bisa lihat: 'oke ini weak, ini strong'," katanya.

Toto juga menambahkan bahwa percobaan serangan selalu ada, jumlahnya pun ribuan, tetapi belum ada yang berhasil masuk atau menjadi insiden siber. Keamanan siber itu sangat dibutuhkan, begitu juga kesadaran dari para karyawannya.

"Awareness untuk karyawan bagagimana beraksi kalau ada cyberattack itu mulai harus disimulasikan. Sama saja kayak simulasi kebakaran," kata Toto.

Dukungan SDM

Toto mengaku keseluruhan karyawan DCI berjumlah 100 orang, termasuk dirinya. Mereka terbagi dua tim, bagian perkantoran dan teknisinya.

SDM pun, kata dia, didominasi anak muda milenial, karena dirinya juga merekrut lulusan baru hingga lulusan sekolah menengah kejuruan.

Toto mengatakan, mengatakan, karyawan DCI selalu dilatih dan dibantu dengan kecerdasan buatan (AI) dalam bekerja. Penerapan AI untuk menghindari kesalahan manusia (human error) sehingga bisa efektif dan efisien dalam mengoperasikan pusat data.

Toto berharap pada 2025 perusahaan masih akan membangun data center baru karena kebutuhan pasarnya terus berkembang, terlebih banyak perusahaan mulai migrasi ke komputasi awan (cloud).

"Cloud sendiri akan berkembang lebih cepat, otomatis pusat data juga akan berkembang. Karena cloud berkembang, pasti butuh pusat data yang lebih banyak," ujar Toto juga pendiri Sigma, perusahaan yang kini diakuisisi Telkom dan berubah nama sebagai TelkomSigma.[]

Redaktur: Andi Nugroho

#DCIIndonesia   #datacenter   #pusatdata   #keamanansiber

Share:




BACA JUGA
Seni Menjaga Identitas Non-Manusia
Pemerintah Dorong Industri Pusat Data Indonesia Go Global
Indonesia Dorong Terapkan Tata Kelola AI yang Adil dan Inklusif
SiCat: Inovasi Alat Keamanan Siber Open Source untuk Perlindungan Optimal
BSSN Selenggarakan Workshop Tanggap Insiden Siber Sektor Keuangan, Perdagangan dan Pariwisata